Membenarkan Karamah Para Wali

 Abdullah bin Abdul Hamid Al-Atsari    

Termasuk dari prinsip ‘aqidah Salafush Shalih, Ahlus Sunnah wal Jama'ah :
Membenarkan karamah para wali, yaitu sesuatu yang dianugerahkan Allah Ta'ala kepada sebagian orang shalih berupa kejadian luar biasa sebagai penghargaan bagi mereka. Seperti yang dijelaskan dalam al-Qur'an dan as-Sunnah. (Karamah adalah perkara yang luar biasa yang tidak diiringi dengan pengakuan kenabian dan bukan juga sebagai muqaddimahnya. Allah menampakkannya atas sebagian hamba-Nya yang shalih dari golongan orang yang berpegang teguh dengan hukum syari'at Islam sebagai bentuk kemuliaan bagi mereka dari Allah Ta'ala. Jika tidak diiringi dengan iman yang benar dan amal shalih, maka hal itu merupakan istidraj (bujukan). Hal ini pernah terjadi pada ummat-ummat terdahulu seperti disebut dalam surat Kahfi dan lainnya; dan terjadi pula pada generasi awal ummat (Muhammad) ini dari kalangan para sahabat dan tabi'in. Seperti yang terjadi ‘Umar bin Khahthab ra, "Wahai saariyyah, berlindunglah di gunung!", dan banyak yang lainnya. Dalam kitab-kitab Sunan yang shahih dan nukilan atsar-atsar, disebutkan banyak sekali kisah tentang karamah; dimana Allah Ta'ala menghormati para hamba-Nya yang shalih dan yang mengamalkan al-Qur'an dan Sunnah Nabi-Nya saw. Kisah tersebut juga telah diriwayatkan oleh ribuan orang dari kalangan ulama dan lainnya yang bersumber dari orang yang terpercaya lagi menyaksikannya. Hal itu sampai kepada kita dengan jalan mutawatir dan masih tetap ada pada ummat ini tergantung pada kehendak Allah. Terjadinya karamah para wali pada hakikatnya merupakan bagian dari mu'jizat bagi para Nabi. Karena karamah tidak akan terjadi kepada siapapun kecuali barakah mengikutinya kepada Nabinya dan berjalan diatas petunjuk agama dan syari'atnya. Karamah termasuk perkara yang dapat diterima oleh akal. Kadang-kadang apa yang dianugerahkan Allah kepada hamba-Nya yang mukmin berupa pengetahuan yang luas merupakan suatu hal yang lebih afdhal dan lebih agung dibandingkan dengan hal luar biasa yang sifatnya material yang dapat kita dengar atau kita baca.
Termasuk karamah yang disepakati oleh salafush shalih adalah istiqomah (konsisten untuk senantiasa berpegang teguh) di atas panji al-Qur'an dan as-Sunnah, taat dan ridha dengan hukum yang terkandung didalamnya dan keserasian antara ilmu dan amal. Sesungguhnya sebagian kaum muslimin tidak dapat memperoleh karamah, hal ini dapat menunjukkan kelemahan iman mereka. Karena karamah tersebut terjadi disebabkan, antara lain : 1.       Untuk menguatkan iman seseorang. Oleh karena itu tidak telihat banyak karamah yang terjadi di kalangan para sahabat. Karena iman mereka kuat dan keyakinannya sempurna.
2.       Sebagai iqamatul hujjah terhadap musuh. Karamah tidak terikat dari segi logika semata, akan tetapi terikat dari segi kaidah syar'i.
Syarat karamah, antara lain :
1.       Tidak diharamkan menurut hukum syar'i maupun kaidah agama
2.       Terjadi pada orang yang masih hidup
3.       Terjadi karena keperluan
 
Jika salah satu dari syarat-syarat tersebut tidak ada, maka bukanlah karamah melainkan khayalan/imajinasi belaka atau ilusi atau bahkan pemberian dari syetan. Karamah tidak ada sangkut pautnya dengan hukum syar'i, demikian pulan hukum syar'i tidak akan lenyap karenanya. Karena hukum syar'i mempunyai referensi yang ma'ruf baik dari al-Qur'an, Sunna Rasul-Nya maupun ijma, jika Allah Ta'ala menganugerahkan karamah kepada seorang muslim, maka hendaknya ia bersyukur kepada Allah atas anugerah dan nikmat ini. Dan memohon ketetapan kepada-Nya serta tidak (menjadikannya) sebagai fitnah jika hal tersebut merupakan cobaan dan ujian. Merahasiakan masalah ini di hadapan manusia dan tidak menjadikannya sarana untuk membanggakan diri dan sombong. Karena yang demikian itu dapat mendatangkan malapetaka. Berapa banyak manusia yang merugi dunia dan akhirat ketika syaitan memperdayakan mereka dari jalan ini; maka amal tersebut menjadi bencana bagi mereka. Ketahuilah bahwa para wali Allah itu mempunyai beberapa kriteria yang telah disebutkan Allah dalam kitab-kitab-Nya yang mulia di beberapa ayat dan yang telah terkumpul dalam surat Al-Furqaan ayat : 63-74. Disebutkan pula oleh para Nabi saw di beberapa hadits; di antara kriteria tersebut adalah: beriman, kepada Allah, para Malaikat-Nya, para Rasul-Nya, Kitab-kitab-Nya, hari akhir, takdir yang baik atau buruk dan takwa, yaitu : takut kepada Allah, mengamalkan Sunnah Nabi saw, menyiapkan untuk hari Pertemuan (dengan Allah), cinta dan benci karena Allah, sungguh melihat mereka akan mengingatkan kepada Allah, berjalan di atas bumi dengan rendah hati, jika disapa orang jahil mereka mengucapkan kata-kata yang baik, di malam hari bersujud dan berdiri untuk rabb mereka, selalu berdo'a :"Wahai rabb kami, jauhkan kami dari adzab Jahanam", jika membelanjakan (harta) mereka tidak berlebihan dan tidak pula kikir, tidak menyembah rabb selain Allah, tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, tidak berzina tidak memberikan persaksian palsu, jika bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya, jika diberi peringatan dengan ayat-ayat Rabb-Nya maka mereka tidaklah menghadapinya sebagai orang-orang yang tuli dan buta, do'a yang mereka panjatkan adalah ; "Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keterununan kami sebagai penyenang hati (kami) dan jadikanlah kami imam bagiorang-orang yang bertaqwa" ... dan lain-lain yang terdapat dalam al-Qur'an dan as-Sunnah).
 
"Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedit hati. (yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa. Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan (dalam kehidupan) di akhirat. Tidak ada perubahan bagi kalimat-kalimat (janji-janji) Allah. Yang demikian itu adalah kemenangan yang besar." (Yunus: 62-64).
Nabi bersabda, "Sesungguhnya Allah Tabaaraka wa Ta'ala berfirman, "Barangsiapa memusuhi wali-Ku, maka Aku telah mengumumkan perang dengannya." (HR. Al-Bukhari) (HR. Al-Bukhari no.6502 dari Sahabat Abu Hurairah.)
Tetapi Ahlus Sunnah wal Jama'ah mempunyai kriteria yang syar'i dalam membenarkan karamah. Tidak setiap kejadian yang luas biasa merupakan karamah, tetapi ada kalanya merupakan istidraj (bujukan) atau sesuatu yang terselubung di dalamnya yang bukan dari karamah tetapi dari permainan sulap, sihir, syaitan dan dajjal(pembohong). Sedangkan perbedaannya jelas sekali antara karamah dan sihir.

  • Karamah, datangnya dari Allah karena ketaatan, dan dikhususkan bagi orang-orang yang selalu istiqamah, Allah Ta'ala berfirman, ".... mereka (orang-orang musyrik) bukanlah orang-orang yang berhak menguasainya. Orang-orang yang berhak menguasai(nya) hanyalah orang-orang yang bertakwa ..." (Al-Anfaal: 34).
  • Sihir, datangnya dari syaitan karena perbuatan kufur dan maksiat, dan dikhususkan bagi orang-orang yang sesat. Allah Ta'ala berfirman, "... Sesungguhnya syaitan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kami; dan jika kamu menuruti mereka, sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik. (Al-An'aam : 121).
Ahlus Sunnah Wal Jama'ah: membenarkan bahwa di dunia ada sihir dan tukan sihir, (Ibnu Qudamah al-Maqdisi ra berkata:" Sihir adalah buhul, mantra dan ucapan. Prakteknya dapat dilakukan dengan komat-kamit dengan ucapan itu atau menulisnya atau berbuat sesuatu yang dapat memberikan pengaruh pada pada orang yang disihir atau hatinya atau bahkan akalnya secara tidak langsung. Sihir pada hakekatnya ada, di antaranya ada yang dapat membunuh, menyakiti, menjauhkan seorang suami dari istrinya sehingga ia tidak mmapu menggaulinya, memisahkan hubungan suami isteri, seorang dapat membenci orang lainnya atua mencintai keduannya. Ini adalah pendapat imam Asy-Syafi'i ..." Beliau (Ibnu Qudamah) melanjutkan, "Jika hal tersebut benar-benar terjadi, maka sesungguhnya mempelajari dan mengajari ilmu sihir adalah haram; tidak ada perbedaan pendapat di antara ulama sepanjang kami ketahui. Sahabat-sahabat kami berkata. ‘Tukang sihir adalah kafir; disebabkan berbuat dan mempelajarinya baik dia meyakini kebolehannya maupun keharamannya..." Kemudian Ibnu Qudamah menjelaskan eksistensi sihir, seraya berkata : Seandainya sihir itu tidak ada hakikatnya (hanya ilusi) pasti Allah Ta'ala tidak akan menyuruh meminta perlindungan dari-Nya. Allah Ta'ala berfirman, "Maka tatkala ahli-ahli sihir itu datang ...." (Yunus : 80)
"... Dan mereka (ahli-ahli sihir) mendatangkan sihir yang besar (menakjubkan)." (Al A'raaf:116).
Firmannya pula, "... Akan tetapi syaitan-syaitan itulah yang kafir (mengerjakan sihir). Mereka mengajarkan sihir kepada manusia ..." (Al-Baqarah : 102).
Hanya saja tukang-tukang sihir itu tidak dapat memberikan mudharat terhadap seorangpun keculai dengan izin Allah. Allah Ta'ala berfirman, "... Mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua orang Malaikat di negeri Babil yaitu Harut dan Marut, sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorangpun sebelum mengatakan: ‘sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu jangalah kami kafir. Maka mereka mempelajari dari kedua Malaikat itu apa yang dengan sihir itu, mereka dapat mencertakan antara seorang (suami) dengan isterinya ..." (Al-Baqarah: 102). Lihat, al-Mughni, juz 8, hal: 150-151)
"Dan mereka itu (ahli sihir) tidak memberi mudharat dengan sihirnya kepada seorangpun, kecuali dengan izin Allah. Dan mereka mempelajari sesuatu yang memberi mudharat kepadanya dan tidak memberi manfaat ..." (Al-Baqarah : 102).
Barang siapa percaya bahwa sihir itu dapat memberi mudharat atau manfaat tanpa seizin Allah, maka ia telah kafir. Dan barang siapa percaya bahwa sihir itu diperbolehkan, maka wajib ia dibunuh, karena kaum Muslimin telah bersepakat bahwa sihir itu haram. Tukang sihir harus disuruh bertaubat; jika mau bertaubat; dan jika tidak mau maka akan dipenggal lehernya.
Termasuk dari prinsip Aqidah Safush Shalih, atau Ahlus Sunnah wal Jama'ah:
Membenarkan ru'ya shalihah (mimpi yang benar). Ia termasuk bagian dari kenabian; sedangkan firasat yang benar bagi orang-orang yang shalih merupakan suatu kebenaran. Allah Ta'ala berfirman, "..... ‘Sesungguhnya aku (Ibrahim as) melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!' ia (Ismail as) menjawab: ‘Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; Insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.'" (Ash-Shaaffaat:102)
Nabi bersabda, "Tidak tersisa dari kenabian kecuali mubasysirat (tanda-tanda kabar gembira). "Para sahabat bertanya, "Apa tanda-tanda kabar gembira itu?" Rasulullah saw menjawab, "Yaitu mimpi yang benar" (HR. Al-Bukhari) (HR. Al Bukhari no.6990 dari Sahabat Abu Hurairah ra).
Ahlus Sunnah wal Jama'ah mengimani bahwa Allah Ta'ala menciptakan syaitan-syaitan dari golongan jin yang selalu menggoda, mencari kelengahan anak keturunan Nabi Adam, dan membahayakan mereka.
Allah Ta'ala berfirman, "....Sesungguhnya syaitan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kami; dan jika kamu menuruti mereka, sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang musyrik." (Al-An'am:121).
Dan sesungguhnya Allah menguasakan syaitan-syaitan itu terhadap orang-orang yang dikehendaki-Nya dari para hamba-Nya karena hikmah-Nya. Allah Ta'ala berfirman,  "Dan hasunglah siapa yang kamu sanggupi di antara mereka dengan ajakanmu, dan kerahkanlah terhadap mereka pasukan berkuda dan pasukanmu yang berjalan kaki dan berserikatlah dengan mereka pada harta dan anak-anak dan beri janjilah mereka. Dan tidak ada yang dijanjikan oleh syaitan kepada mereka melainkan tipuan belaka." (Al-Israa' : 64).
Allah akan selalu menjaga orang yang dikehendaki-Nya dari tipu daya syaitan.
Allah Ta'ala berfirman, "Sesungguhnya syaitan itu tidak ada kekuasaanya atas orang-orang yang beriman dan bertawakkal kepada Rabb-nya. Sesunggnya kekuasaanya (syaitan) hanyalah atas orang-orang yang mengambilnya jadi pemimpin dan atas orang-orang yang mempersekutukannya dengan Allah." ( An-Nahl:99-100).

Sumber: Diadaptasi dari Abdullah bin Abdul Hamid Al-Atsari, Al-Wajiiz fii Aqiidatis Salafis Shaalih (Ahlis Sunnah wal Jama'ah), atau Intisari Aqidah Ahlus Sunah wal Jama'ah), terj. Farid bin Muhammad Bathathy(Pustaka Imam Syafi'i, cet.I), hlm.173 -181.

Tabrakan

0 Response to "Membenarkan Karamah Para Wali"

Posting Komentar

powered by Blogger | WordPress by Newwpthemes