Perintah Mensucikan Hati

Allah berfirman yang artinya, “(Yaitu) pada hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.” (QS. asy-Syu’ara: 88-89)
Ibnu Katsir berkata, “‘(Yaitu) pada hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna’ Artinya, harta seseorang tidak akan bisa menjaga diri orang tersebut dari azab Allah, walaupun dia menebusnya dengan emas seluas dan sepenuh bumi. ‘Dan tidak pula anak-anak laki-laki’, artinya tidak pula bisa menghindarkan dirinya dari azab Allah, walaupun dia menebus dirinya dengan semua manusia yang bisa memberikan manfaat kepadanya. Yang bermanfaat pada hari kiamat hanyalah keimanan kepada Allah dan memurnikan peribadatan hanya untuk-Nya, serta berlepas diri dari kesyirikan dan dari para pelakunya. Oleh karena itu, Allah kemudian berfirman, ‘Kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.’ Yaitu, hati yang terhindar dari kesyirikan dan dari kotoran-kotoran hati.”
Imam asy-Syaukani berkata, “Harta dan kerabat tidak bisa memberikan manfaat kepada seseorang pada hari kiamat. Yang bisa memberikan manfaat kepadanya hanyalah hati yang selamat. Dan hati yang selamat dan sehat adalah hati seorang mukmin yang sejati.”
Ayat-Ayat yang Lain
1. Allah berfirman,
“(Ingatlah) ketika dia (Ibrahim) datang kepada Tuhannya dengan hati yang suci.” (QS. ash-Shaffat: 84)
Syaikh Abdurrahman as-Sa’di berkata di dalam tafsirnya, “Yakni dia datang menghadap Allah dengan membawa hati yang selamat dari kesyirikan, syubhat-syubhat, dan syahwat-syahwat yang bisa menghalanginya dari mengetahui kebenaran dan mengamalkannya. Apabila hati seorang hamba telah selamat dari hal-hal di atas, maka hati tersebut akan terhindar dari segala keburukan-keburukan, dan sebaliknya hati tersebut akan memunculkan kebaikan-kebaikan. Dan di antara bentuk keselamatan hati adalah bahwa ia selamat dari perbuatan menipu daya manusia, serta selamat dari hasad dan dari berbagai bentuk akhlak yang tercela.”
2. Allah berfirman,
“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa, ‘Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan ada kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyanyang.’” (QS. al-Hasyr: 10)
Imam asy-Syaukani berkata tentang ayat di atas yang maknanya bahwa yang dimaksud orang-orang yang datang setelah para sahabat adalah semua orang yang mengikuti mereka sampai hari kiamat. Dalam ayat ini Allah memerintahkan mereka untuk memohon ampunan untuk diri mereka sendiri dan juga untuk para pendahulu mereka yang telah mendahului mereka dalam beriman. Allah juga memerintahkan mereka untuk berdoa kepada-Nya agar dihilangkan dari hati mereka perasaan ghill, yaitu rasa dendam, dongkol, dan dengki terhadap kaum mukminin -dan tentunya yang menduduki peringkat utama dalam golongan kaum mukminin adalah para sahabat karena merekalah generasi paling mulia dari umat ini.
Syaikh Abdurrahman as-Sa’di berkata, “Doa ini berlaku secara umum untuk semua kaum mukminin baik dari kalangan sahabat atau umat sebelum sahabat atau generasi-generasi setelah sahabat. Dan ini termasuk di antara keutamaan-keutamaan iman, yaitu bahwa kaum mukminin itu saling memberi manfaat satu sama lain, saling mendoakan satu sama lain. Semua itu karena adanya kebersamaan dalam keimanan yang berimplikasi adanya ikatan ukhuwwah antar mukmin, yang di antara cabangnya adalah saling mendoakan dan saling mencintai antara satu dengan yang lain. Oleh karena itu, Allah menyebutkan dalam doa tersebut permintaan dihilangkannya rasa ghill dari hati mereka, sedikit ataupun banyak. Apabila sifat ghill tersebut telah hilang dari hati, maka akan muncul sifat yang menjadi lawan dari sifat tersebut, yaitu rasa cinta antara sesama mukmin, saling menolong dan menasehati, serta sifat-sifat terpuji lainnya yang termasuk hak-hak orang mukmin yang harus ditunaikan.”
Hadits-Hadits Rasulullah
1. Diriwayatkan dari Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash, beliau berkata, “Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya, ‘Siapakah orang yang paling utama?’ Beliau menjawab, ‘Setiap orang yang bersih hatinya dan benar ucapannya.’ Para sahabat berkata, ‘Orang yang benar ucapannya telah kami pahami maksudnya. Lantas apakah yang dimaksud dengan orang yang bersih hatinya?’ Rasulullah menjawab, ‘Dia adalah orang yang bertakwa (takut) kepada Allah, yang suci hatinya, tidak ada dosa dan kedurhakaan di dalamnya serta tidak ada pula dendam dan hasad.’” (Dikeluarkan oleh Ibnu Majah 4216 dan Thabarani, dan dishahihkan oleh Imam Albani di dalam Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah)
2. Diriwayatkan dari an-Nu’man bin Basyir, dia berkata, “Rasulullah bersabda, ‘… Ketahuilah sesungguhnya di dalam jasad itu ada segumpal darah. Apabila dia baik, maka menjadi baik pula semua anggota tubuhnya. Dan apabila rusak, maka menjadi rusak pula semua anggota tubuhnya. Ketahuilah dia itu adalah hati.’” (Muttafaq ‘alaihi)
3. Diriwayatkan dari Anas bin Malik, beliau berkata, “Suatu ketika kami duduk-duduk bersama Rasulullah. Tiba-tiba beliau berkata, ‘Akan lewat di hadapan kalian saat ini seorang calon penghuni surga.’ Lalu lewatlah seorang pemuda Anshar dalam keadaan dari jenggotnya menetes sisa-sisa air wudhu dan tangan kirinya menenteng sandal. Pada keesokan harinya, Rasulullah bersabda lagi persis sebagaimana sabdanya kemarin, lalu lewatlah pemuda tersebut dengan keadaan persis dengan keadaannya yang kemarin. Dan pada hari yang ketiga Rasulullah mengulang lagi sabdanya seperti sabdanya yang pertama dan pemuda itu pun muncul lagi dengan keadaan seperti keadaannya yang pertama. Maka, ketika Rasulullah beranjak pergi, Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash segera mengikuti pemuda tersebut (ke rumahnya), lalu berkata kepadanya, ‘Sesungguhnya antara aku dan bapakku telah terjadi perselisihan, maka aku bersumpah tidak akan masuk ke rumahnya selama 3 hari. Jika engkau tidak keberatan, aku ingin menumpang padamu selama 3 hari tersebut.’ Pemuda tersebut berkata, ‘Ya, tidak apa-apa.’”
Selanjutnya Anas berkata, “Maka Abdullah menceritakan bahwa selama 3 hari bersama pemuda tersebut, dia tidak melihatnya melakukan qiyamul lail (shalat malam) sedikitpun. Yang dia lakukan hanyalah bertakbir dan berzikir setiap kali dia terjaga dan menggeliat di atas tempat tidurnya sampai dia bangun untuk shalat shubuh. Selain itu, Abdullah berkata, ‘Hanya saja, aku tidak pernah mendengarnya berbicara kecuali yang baik-baik. Setelah 3 hari berlalu dan hampir saja aku meremehkan amalannya, aku berkata kepadanya, ‘Wahai hamba Allah, sebenarnya tidak pernah ada pertengkaran antara aku dengan bapakku, dan tidak pula aku menjauhinya. Sebenarnya, aku hanya mendengar Rasulullah berkata tentang engkau tiga kali, ‘Akan muncul di hadapan kalian saat ini seorang laki-laki calon penghuni surga.’ Dan ternyata engkaulah yang muncul sebanyak 3 kali itu. Karena itu, aku jadi ingin tinggal bersamamu agar aku bisa melihat apa yang engkau lakukan untuk kemudian aku tiru. Akan tetapi, aku tidak melihat engkau melakukan amalan yang besar. Lantas, amalan apa sebenarnya yang bisa menyampaikan engkau kepada kedudukan sebagaimana yang dikatakan oleh Rasulullah?’ Orang tersebut berkata, ‘Aku tidak melakukan kecuali apa yang kamu lihat.’ Maka ketika aku telah berpaling (pergi), dia memanggilku dan berkata, ‘Sebenarnyalah aku memang tidak melakukan apa-apa selain yang engkau lihat. Hanya saja, selama ini aku tidak pernah merasa dongkol dan dendam kepada seorang pun dari kaum muslimin, serta tidak pernah menyimpan rasa hasad terhadap seorang pun terhadap kebaikan yang telah Allah berikan kepadanya.’ Maka Abdullah berkata, ‘Inilah amalan yang membuatmu sampai pada derajat tinggi, dan inilah yang tidak mampu kami lakukan.’” (HR. Ahmad)
Perkataan Para Salaf
1. Abu Dujanah berkata, “Tidak ada sebuah amalan yang paling aku yakini bisa memberi manfaat bagiku di akhirat selain dua perkara. Yang pertama, aku tidak pernah berbuat sesuatu yang tidak bermanfaat bagiku. Dan yang kedua, selamatnya hatiku terhadap kaum muslimin.” (Siyar A ‘lam an-Nubala’ I/243).
2. Sufyan bin Dinar berkata, “Aku berkata kepada Abu Bisyr -dan dia termasuk di antara murid-murid Ali bin Abu Thalib-, ‘Beri tahu kepadaku amalan-amalan orang-orang sebelum kita.’ Dia berkata, ‘Mereka sedikit beramal tetapi mendapatkan pahala yang banyak.’ Aku berkata, ‘Mengapa bisa demikian?’ Dia berkata, ‘Karena selamatnya (bersihnya) hati mereka.’” (Az-Zuhud II/600).
3. Al-Fudhail bin ‘Iyadh berkata, “Tidak akan bisa mengejar kami orang yang mengejar dengan memperbanyak puasa dan shalat, akan tetapi kami hanya bisa dikejar dengan bermurah hati dan selamatnya hati dan memberi nasehat kepada umat.” (Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam I/225).
4. Ibnul Qayyim berkata, “Jadi, hati adalah ibarat raja bagi anggota tubuh. Anggota tubuh akan melaksanakan apa yang diperintahkan oleh hati dan akan menerima semua arahan-arahan hati. Anggota tubuh tidaklah akan melaksanakan sesuatu kecuali yang berasal dari tujuan dan keinginan hati. Jadi, hati tersebut merupakan penanggung jawab mutlak terhadap anggota tubuh karena seorang pemimpin akan ditanya tentang yang dipimpinnya. Jika demikian adanya, maka upaya memberi perhatian yang besar terhadap hal-hal yang menyehatkan hati dan meluruskannya merupakan upaya yang terpenting, dan memperhatikan penyakit-penyakit hati serta berusaha untuk mengobatinya merupakan ibadah yang paling besar.” (Ighatsah al-Lahfan halaman 5).
Di tempat yang lain beliau berkata, “Jenis hati yang ketiga adalah hati yang sakit, yaitu hati yang hidup namun berpenyakit. Dengan begitu, di dalam hati tersebut terdapat dua unsur, di mana unsur yang pertama terkadang mengalahkan yang kedua dan begitu pula sebaliknya. Sedangkan hati sendiri akan mengikuti yang menang di antara keduanya.
Di dalam hati tersebut terdapat perasaan cinta dan iman kepada Allah, ikhlas dan bertawakkal hanya kepada-Nya. Semua itu merupakan unsur kehidupan hati. Namun, di dalam hati tersebut juga terdapat perasaan cinta kepada syahwat, lebih mementingkan syahwat dan berupaya untuk memperturutkannya, dan terdapat pula rasa hasad, sombong, ujub, dan ambisi untuk menjadi orang yang paling unggul, serta bertindak semena-mena di muka bumi dengan kekuasaan yang dimiliki. Semua itu merupakan unsur yang akan membuat diri hancur dan binasa.”
Beliau juga berkata, “Karena itu, surga tidak bisa dimasuki oleh orang-orang yang berhati kotor, dan tidak pula bisa dimasuki oleh orang yang di hatinya terdapat noda-noda dari kotoran tersebut. Barangsiapa yang berusaha untuk mensucikan hatinya di dunia, lalu menemui Allah (mati) dalam keadaan bersih dari najis-najis hati, maka dia akan memasuki surga tanpa penghalang. Adapun tentang orang yang belum membersihkan hatinya selama di dunia, maka jika najis hati tersebut najis murni -seperti hatinya orang-orang kafir-, maka dia tidak bisa masuk surga sama sekali. Dan jika najis tersebut sekadar noda-noda yang mengotori hati, maka dia akan memasuki surga tersebut setelah dia disucikan di dalam neraka dari najis-najis tersebut.”
5. Ibnu Qudamah berkata, “Dan ketahuilah bahwasanya Allah apabila menghendaki kebaikan pada seseorang, maka dia akan dibuat mengetahui aibnya. Barangsiapa yang mempunyai mata hati yang tajam, maka tidak akan tersembunyi baginya aib-aib dirinya, dan apabila dia telah mengenali aib-aibnya, maka memungkinkan baginya untuk mengobatinya penyakit-penyakit tersebut. Sayangnya, kebanyakan manusia tidak mengenal aib-aib dirinya sendiri. Mereka bisa melihat kotoran yang ada di mata saudaranya, tetapi tidak bisa melihat anak sapi yang ada di matanya sendiri.”
Di tempat yang lain beliau berkata, “Barangsiapa yang mengenal hatinya, maka dia akan mengenal Rabbnya. Sayangnya, kebanyakan manusia tidak mengenali dirinya sendiri. Allah-lah yang menghalangi antara seseorang dengan hatinya, dan penghalang tersebut berupa ketidakmampuan seseorang mengenali hatinya dan terhalangnya dirinya dari mengawasi hatinya, padahal mengenali hati dan sifat-sifatnya adalah merupakan pokok agama.”
Penutup
Kita akhiri pembahasan ini dengan doa yang diajarkan oleh Rasulullah: Allohumma aati nafsii taqwaahaa wa zakkihaa anta khoiru man zkkaahaa. Aamiin. “Ya Allah, berikanlah ketakwaan kepada jiwaku dan bersihkanlah ia karena Engkaulah sebaik-baik zat yang bisa membersihkannya.” Amin.
***
Sumber: Majalah Fatawa
Dipublikasikan kembali oleh www.muslim.or.id

Menolong Orang Yang Zhalim Dan Yang Di Zhalimi


قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أُنْصُرْ أَخَاكَ ظَالِمًا أَوْ مَظْلُوْمًا، فَقَالَ رَجُلٌ : يَا رَسُوْلَ اللهِ أَنْصُرُهُ إِذَا كاَنَ مَظْلُوْمًا أَفَرَأَيْتَ إِذَا كَانَ ظَالِمًا كَيْفَ أَنْصُرُهُ، قَالَ: تَحْجُزُهُ أَوْ تَمْنَعُهُ مِنَ الظُّلْمِ فَإِنَّ ذَلِكَ نَصْرُهُ ( صحيح البخاري
“Tolonglah saudaramu dalam keadaan ia menzhalimi atau dizhalimi. Maka seorang lelaki berkata: ‘Wahai Rasulullah, Saya menolongnya jika ia dizhalimi, bagaimana pendapatmu jika ia yang menzhalimi, bagaimana saya menolongnya?’ Beliau saw menjawab: Engkau halangi dia atau engkau mencegahnya dari berbuat zhalim, maka sesungguhnya hal itu merupakan pertolongan terhadapnya. (Shahih Al Bukhari)


Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh

حَمْدًا لِرَبٍّ خَصَّنَا بِمُحَمَّدٍ وَأَنْقَذَنَا مِنْ ظُلْمَةِ الْجَهْلِ وَالدَّيَاجِرِ اَلْحَمْدُلِلّهِ الَّذِيْ هَدَاناَ بِعَبْدِهِ الْمُخْتَارِ مَنْ دَعَانَا إِلَيْهِ بِاْلإِذْنِ وَقَدْ ناَدَانَا لَبَّيْكَ ياَ مَنْ دَلَّنَا وَحَدَانَا صَلَّى اللهُ وَسَلّمَ وَبَارَكَ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ اَلْحَمْدُلِلّهِ الَّذِيْ جَمَعَنَا فِي هَذَا الْمَجْمَعِ اْلكَرِيْمِ وَفِيْ هَذَا الْجَمْعِ اْلعَظِيْمِ

Terang benderanglah aku dan kalian dengan cahaya Yang Maha Luhur, Allah Rabbul 'alamin, semoga kita selalu terang benderang dengan cahaya keindahan Allah di dunia dan akhirah, semoga kita selalu damai dengan cahaya keindahan Ilahi di dunia dan akhirah, semoga kita selalu dalam kesuksesan, kemakmuran, kebahagiaan, keluhuran, pengampunan, kesucian dari Sang pemilik dunia dan akhirah, Allahumma amin.
Hadirin hadirat yang dimuliakan Allah
Sang pemilik dunia dan akhirah memiliki kenikmatan dan menciptakan kenikmatan di dunia dan di akhirah, memiliki dan menciptakan kesulitan di dunia dan di akhirah, maka menujulah kepada Sang pemilik kebahagiaan dunia dan akhirah, yang dengan itu engkau akan dekat kepada-Nya, maka Dia (Allah) menyingkirkan kesusahan dunia dan akhirah, inilah Allah subhanahu wata'ala Yang telah memuliakan hamba-hamba-Nya sepanjang waktu dan zaman dan selalu menyambut dengan sambutan hangat dari hamba-Nya jika hamba ingin dekat kepada-Nya, sebagaimana firman-Nya dalam hadits qudsy:

وَإِنْ تَقَرَّبَ إِلَيَّ بِشِبْرٍ تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ ذِرَاعًا ، وَإِنْ تَقَرَّبَ إِلَيَّ ذِرَاعًا تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ بَاعًا ، وَإِنْ أَتَانِيْ يَمْشِيْ أَتَيْتُهُ هَرْوَلَةً

" Jika seorang hamba mendekat padaKu dalam jarak sejengkal, maka Aku mendekat padanya dalam jarak sehasta dan jika ia mendekat padaKu dalam jarak sehasta, maka Aku mendekat padanya dalam jarak sedepa. Jikalau ia mendatangi Aku dengan berjalan, maka Aku mendatanginya dengan bergegas ."

Maksudnya adalah ketika seorang hamba ingin mendekat kepada kasih sayang Ilahi, ingin diampuni Allah, ingin dimaafkan Allah, ingin disayangi Allah, maka Allah menyambutnya lebih dari keinginannya, Allah menjawab, merangkul dan memeluknya dalam kasih sayang-Nya lebih dari kasih sayang yang ia inginkan. Dan jarak kasih sayang Ilahi jauh lebih dekat dari kasih sayang kita, cinta kita dan doa kita kepada Allah. Maka Allah menjawab keinginan kita, Allah memberi kita lebih, Allah mencintai kita lebih, dan Allah menyangi kita lebih dari yang kita inginkan. Dialah Yang Maha melimpahkan anugerah dan Maha memiliki kerajaan alam semesta sepanjang waktu dan zaman ini ada, sebelum waktu dan zaman ini ada, sebelum alam semesta ada, Allah telah Maha Ada, maka tidak bisa dikatakan " Kapan Allah itu ada? ", karena "Kapan" adalah untuk pertanyaan waktu, sedangkan "waktu" itu diciptakan oleh Allah, maka "waktu" tidak bisa mengikat Allah karena waktu diciptakan oleh Allah.
Hadirin hadirat yang dimuliakan Allah
Sampailah aku dan kalian di malam hari ini sebagai tamu Allah, dalam undangan Allah, dengan kehendak Allah lah aku dan kalian hadir, dalam perkumpulan jamuan rahmat Ilahi yang abadi, sedemikian banyak anugerah ditumpahruahkan oleh Allah subhanahu wata'ala untuk aku dan kalian, dan sebenarnya masa hidup kita sejak lahir hingga wafat memang untuk dilimpahi rahmat namun kita yang mengotorinya dengan dosa dan kehinaan, hidup kita sejak lahir hingga wafat sudah Allah tuntunkan kepada sayyidina Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam untuk kita panut dan kita ikuti, namun kita yang merusak cinta Allah subhanahu wata'ala dan terus menjauh dari pintu kelembutan menuju pintu kemurkaan, terus menghindari kemulian, pahala dan ibadah, terus selalu ingin berbuat dosa dan maksiat, kita duduk di majelis ini 1 atau 2 jam saja terkadang kita telah merasa gerah dan kesal, tetapi kita tidak bosan jika berjam-jam duduk dalam menghadapi dosa seperti mengumpat, menceritakan aib orang lain, atau menceritakan hal-hal yang tidak berguna dan lainnya tetapi kita tidak merasa lelah, sedangkan hanya dalam 1 atau 2 jam kita duduk dalam rahmat kita merasa gundah, maka dengan kehadiran ini karena kita telah diizinkan Allah untuk hadir, dan juga mereka yang mendengarkan semoga Allah perbaiki keadaan kita dengan seindah-indah keadaan, semoga dosa-dosa kita Allah gantikan dengan pahala, sebagaimana firman Allah subhanahu wata'ala:

إِلَّا مَنْ تَابَ وَآَمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا فَأُولَئِكَ يُبَدِّلُ اللَّهُ سَيِّئَاتِهِمْ حَسَنَاتٍ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا ( الفرقان: 70
" Kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal saleh; maka kejahatan mereka diganti dengan kebajikan. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang". ( QS.Al Furqan: 70 )

Ya Rabb, semoga semua nama kami Engkau gantikan semua dosa kami dengan pahala, dan kami tidak berdoa kecuali Engkau pula yang telah mengizinkan kami untuk memintanya, dan kami tidak menyebutnya kecuali Engkau pula yang telah menghendakinya, semoga hal itu benar-benar terjadi padaku dan kalian, Allah gantikan dosa-dosa kita dengan pahala wahai Yang Maha berhak diharapakan ketika semuanya sudah tidak bisa lagi diharapakan, dan gerbang harapan terluas hanyalah pada-Mu Ya Rabbi. Tuhanku dan tuhan kalian, penciptaku dan pencipta kalian, pemilikku dan pemilik kalian, Dialah Allah subhanahu wata'ala dan kelak kita akan berjumpa dengan-Nya, akan datang waktu kita menghadap kepada-Nya, semoga kita berjumpa dengan Sang Maha pencipta datang dengan wajah yang cerah, dan bukan datang dalam keadaan buta. Allah subhanahu wata'ala berfirman:

وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى ( طه : 124 )
"Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta". (QS. Thaha: 124)
Orang yang selalu berpaling dari dzikir menyebut nama Allah, yang selalu menghina dan meremehkan dzikir dengan sebutan nama Allah, maka dia akan menemui kehidupan yang gelap dan penuh kesusahan dan kesempitan di dunia, dan di akhirat mereka dikumpulkan dalam keadaan buta, na'uzubillah. Maka orang itu bertanya, sebagaimana firman Allah subhanahu wata'ala:

قَالَ رَبِّ لِمَ حَشَرْتَنِي أَعْمَى وَقَدْ كُنْتُ بَصِيرًا ( طه: 125 )

"Berkatalah ia: "Ya Tuhanku, mengapa Engkau menghimpunkan aku dalam keadaan buta, padahal aku dahulunya adalah seorang yang melihat?". ( QS. Thaha: 125 )

Mengapa?, karena mereka ketika di dunia menyia-nyiakan Allah subhanahu wata'ala dan meremehkan dzikir kepada-Nya, namun Alhamdulillah kehadiranku dan kalian disini menunjukkan bahwa aku dan kalian Insyaallah tidak akan dibutakan oleh Allah kelak di hari kiamat, dengan berkumpul dan hadir di majelis dzikir seperti ini akan menjadikan kita bukanlah orang-orang yang buta di hari kiamat, karena mereka yang dibutakan adalah mereka yang menghindar dan berpaling dari dzikir kepada Allah, sedangkan kita tidak menghindar dari dzikir yang telah disebut dalam firman Allah, justru kita mendatanginya. Maka sambutan Allah ta'ala sangatlah agung dan hangat, bahkan Allah menjelaskan kepada kita bahwa kita sedang bersama Allah saat kita mengingat-Nya, sebagaimana firman Allah dalam hadits qudsy riwayat Shahih Al Bukhari:

أَنَا مَعَ عَبْدِيْ حَيْثُمَا ذَكَرَنِيْ وَتَحَرَّكَتْ بِيْ شَفَتَاهُ

"Aku bersama hamba-KU ketika ia mengingat-Ku dan bergetar bibirnya menyebut nama-KU"

Getaran bibir menyebut nama Allah dilihat oleh Allah, ditelaah oleh Allah, diingat oleh Allah, dan Allah subhanahu wata'ala memuliakan bibir dan lidah yang bergetar menyebut nama Allah, maka beruntunglah dan adakah yang lebih beruntung dari bibir dan lidah yang menyebut nama-Nya?!. Hadirin hadirat, semua huruf dan kalimat yang kau ucapkan siang dan malam, demi Allah tidak ada kalimat yang lebih agung dari kalimat yang ketika engkau ucapkan Allah melihat dan memuliakannya: " hamba-Ku bergetar bibirnya menyebut nama-Ku", maka bagaimana jika hanya bibir yang bergetar menyebut nama Allah telah disebut oleh Allah dalam firman-Nya dan dimuliakan, maka terlebih lagi hati yang bergetar menyebut nama-Nya, hati yang ingat kepada Allah, dan air mata yang mengalir karena rindu kepada Allah, dan salah satu kelompok yang dinaungi oleh Allah di hari kiamat dimana tiada naungan selain naungan Allah adalah seseorang yang mengingat Allah kemudian mengalir air matanya, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam:

رَجُلٌ ذَكَرَاللهَ خَالِيًا فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ

" Seseorang yang mengingat Allah dalam kesunyian kemudian kedua matanya mengalirkan air mata"

Hari kiamat kelak matahari hanya sejengkal di atas kepala dan demikian panasnya matahari itu, namun orang-orang yang berlinang air matanya karena mengingat Allah maka tidak akan dilupakan oleh Allah subhanahu wata'ala.
Hadirin hadirat, diantara mereka yang telah masuk ke dalam surga ada yang masih berwajah suram, maka Allah memerintahkan malaikat untuk memberi apa yang mereka minta , mengapa mereka belum juga gembira. Maka ketika ditanya, mereka berkata: "Kami, belum melihat keindahan Allah padahal kami sudah berada di surga", mereka adalah orang-orang yang terakhir keluar dari neraka dan ingin melihat keindahan Allah, maka Allah subhanahu wata'ala berkata: "Wahai malaikat, singkirkan dan bukakan tabir yang menghalangi-Ku dengan hamba-hamba-Ku", maka malaikat berkata: "Wahai Allah mata-mata mereka banyak bermaksiat ketika di dunia, maka mereka tidak pantas untuk memandang keindahan dzat-Mu walaupun mereka telah masuk ke surga", maka Allah berkata: "Angkatlah tabir penghalang itu, biarkanlah mereka melihat keindahan-Ku, karena dulu penglihatan mereka pernah mengalirkan air mata rindu ingin berjumpa dengan-Ku, maka mereka berhak melihat keindahan-Ku". Demikian Sang Maha Indah yang akan kau temui kelak dan tidak satupun yang pernah hidup di dunia kecuali pasti akan berjumpa dengan pemiliknya di hari kiamat, yaitu Allah subhanahu wata'ala.
Hadirin hadirat yang dimuliakan Allah
Yang Maha memiliki kenikmatan dan kelembutan dan kasih sayang, kasih sayang di dunia dan akhirah,Ar Rahman Ar Rahiim Yang Maha berkasih sayang kepada seluruh makhlukNya dan Maha lebih berkasih sayang kepada hamba-hamba-Nya yang beriman, semoga aku dan kalian selalu dalam naungan Ar Rahman Ar Rahim, selalu dalam naungan rahmat dan kasih sayang Allah bagi hamba-hamba-Nya di dunia dan kasih sayang Allah bagi hamba-hamba-Nya di akhirah, amin ya rabbal 'alamin. Dan telah dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bahwa:
أَفْضَلُ اْلعِبَادَةِ الدُّعَاءُ
"Sebaik-baik mulia ibadah adalah doa"

Karena semua ibadah adalah hakikat doa. Hadirin hadirat yang dimuliakan Allah Sampailah kita pada hadits agung, Rasul shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

أُنْصُرْ أَخَاكَ ظَالِمًا أَوْ مَظْلُوْمًا، فَقَالَ رَجُلٌ : يَا رَسُوْلَ اللهِ أَنْصُرُهُ إِذَا كاَنَ مَظْلُوْمًا أَفَرَأَيْتَ إِذَا كَانَ ظَالِمًا كَيْفَ أَنْصُرُهُ، قَالَ: تَحْجُزُهُ أَوْ تَمْنَعُهُ مِنَ الظُّلْمِ فَإِنَّ ذَلِكَ نَصْرُهُ
“Tolonglah saudaramu dalam keadaan ia menzhalimi atau dizhalimi. Maka seorang lelaki berkata: ‘Saya menolongnya jika ia dizhalimi, bagaimana pendapatmu jika ia yang menzhalimi, bagaimana saya menolongnya?’ Beliau menjawab : ‘Engkau halangi dia atau engkau mencegahnya dari berbuat zhalim, maka sesungguhnya hal itu merupakan pertolongan terhadapnya’.

Oleh sebab itu, berdasarkan hadits ini, kita memahami bahwa sedemikian banyak saudara kita yang berbuat zhalim, dan Rasul telah memerintahkan agar kita menolong orang yang dizhalimi dan yang zhalim pun tidak dilupakan. Menolong orang yang dizhalimi itu sudah jelas dimengerti dan tidak perlu saya jelaskan, seperti orang yang ditindas, orang yang dijahati oleh orang lain maka Rasul memerintahkan untuk ditolong, tetapi Rasulullah juga memerintahkan untuk menolong orang-orang zhalim, kenapa ditolong?, maksudnya bukan ditolong dalam berbuat jahat tetapi ditolong supaya tidak berbuat jahat, ditolong supaya mundur dari perbuatan jahatnya, apa yang telah membuatnya berbuat jahat, misalnya kesusahan tidak mempunyai makanan, maka kita tolong dia dengan memberi apa yang kita miliki, atau yang membuatnya jahat karena benci atau iri dengan saudaranya maka bantulah dia dengan memberinya pemahaman dan mengenalkan padanya bahwa dendam dan kebencian itu tidak berguna jika dipendam di hati, yang berguna adalah untuk tabungan pahala, itulah yang berguna, kita punya dendam, kesal atau kebencian hal itu tidak berguna jika dipendam di hati karena hanya akan menghalangi kekhusyu'an dzikirmu, menghalangi ketenangan hari-harimu maka singkirkan kebencian itu dan jadikan sebagai tabungan di akhirah, lupakan dan pendam dengan samudera maaf di hatimu, dan hal itu akan menjadai tabunganmu yang akan kau ambil kelak di hari kiamat.
Dan semua orang-orang yang pernah kau maafkan pahalanya begitu agung, dan ingat bahwa sang Maha Pemaaf sangat malu jika tidak memaafkan hamba-Nya yang pemaaf, Dia Allah subhanahu wata'ala Maha Indah dan juga Maha mengadili. Diriwayatkan di dalam Shahih Al Bukhari bahwa seseorang yang diadili dan terus diadili hingga ia kehabisan amal, lalu ia pun dibawa ke penjara neraka untuk bertanggung jawab karena kesalahannya, maka ia berkata: "Wahai Allah, dulu aku sering memaafkan orang yang zhalim kepadaku, aku sering membantu banyak orang", maka Allah subhanahu wata'ala berkata: "Bebaskan hamba-Ku", mengapa?, karena ia selalu memaafkan orang lain di dunia, maka Allah juga malu untuk tidak memaafkannya di akhirah atas kesalahan-kesalahannya.
Hadirin hadirat yang dimuliakan Allah
Jika ingin dimaafkan dari dosa-dosa, maka maafkan kesalahan orang lain kepadamu dan kau akan dibebaskan dan mendapatkan cahaya maaf dari Sang Maha Pemaaf, karena Sang Maha Pemaaf malu jika tidak memaafkan hamba-Nya yang pemaaf. Sebagaimana sebuah doa yang teriwayatkan dalam riwayat yang shahih:
اَللّهُمَّ إِنَكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ اْلعَفْوَ فَاعْفُ عَنَّا

"Wahai Allah, sesungguhya Engkau Maha pemaaf, menyukai maaf maka maafkanlah kami"

Hadirin hadirat yang dimuliakan Allah
Allah subhanahu wata'ala berfirman:

وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا فَإِنْ بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الْأُخْرَى فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّى تَفِيءَ إِلَى أَمْرِ اللَّهِ فَإِنْ فَاءَتْ فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ ( الحجرات : 9 )

"Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali, kepada perintah Allah; jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil". ( QS. Al Hujurat: 9 )

Allah subhanahu wata'ala memerintahkan jika ada perpecahan antara muslimin, maka damaikanlah, dan jika tidak mau berdamai maka desaklah hingga ia mau berdamai. Ayat ini turun dalam kejadian Abdullah bin Ubay, pimpinan orang-orang munafik di Madinah Al Munawwarah, ketika Rasulullah berjalan bersama para shahabat Ra maka Abdullah bin Ubay menutup hidungnya dan berkata kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam: "Cepatlah kau berjalan kesana, bau busuk keledaimu menggangguku" , maka mendengar hal itu para sahabat marah dan berkata: " Sungguh air seni keledai Rasulullah lebih wangi dari bau minyak wangimu wahai Abdullah bin Ubay…!!!", maka pengikut Abdullah bin Ubay marah dan akhirnya terjadilah perkelahian diantara mereka, maka turunlah ayat diatas.
Al Imam Bukhari di dalam Shahihnya menjelaskan dan disyarahkan oleh Al Imam Ibn Hajar, bahwa Allah mengatakan: "Dua kelompok orang mu'min", padahal kelompok yang lainnya adalah pengikut Abdullah bin Ubay, dan Abdullah bin Ubay sudah jelas-jelas dia meninggal dalam keadaan munafik , tetapi mengapa Allah katakan mereka sebagai dua kelompok orang mu'min?, karena ada diantara pengikut Abdullah bin Ubay yang munafik kemudian bertobat dan menjadi mu'min pembela sayyidina Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam. Allah melihat hal itu, namun pengikut Rasulullah tidak mengetahuinya yang mereka tau hanyalah pengikut Abdullah bin Ubay.
Maka maksud ayat ini adalah ketika kedua kelompok mu'minin bertikai hendaknya kita menjadi penengah dan menjadi pendamai karena kedua-duanya adalah kelompok mu'minin, walaupun diantara salah satu kelompok itu ada orang munafik.
Demikian pula diriwayatkan dalam Shahih Al Bukhari, ketika Rasul shallallahu 'alaihi wasallam telah wafat , Ahnaf bin Qais Ra berkata: "Ketika aku keluar dengan pedangku, aku bertemu dengan Abu Bakrah Ra ". Abu Bakrah Ra (bukan Abubakar Ashhiddiq ra) adalah salah seorang sahabat yang diakui sebagai Al Arif billah, seseorang yang terkenal dan telah mencapai derajat yang tinggi dalam keilmuan dan keshalihannya di kalangan para sahabat, kemudian beliau bertanya kepada Ahnaf bin Qais: "wahai Ahnaf, engkau mau kemana?" , maka ia menjawab : "Aku mau menolong sayyidina Ali bin Abi Thalib Kw", yang ketika itu sedang terjadi percekcokan dengan sayyidah Aisyah ummul mu'minin Ra dalam perang Jamal. Maka Abu Bakrah Ra berkata : "Berbalik dan pulanglah!!", maka ia berkata: "mengapa aku harus pulang, sedangkan aku ingin menolong sayyidina Ali", sayyidina Abu Bakrah terus mendesaknya untuk pulang dan berkata, aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

إِذَا تَوَاجَهَ الْمُسْلِمَانِ بِسَيْفَيْهِمَا فَالْقَاتِلُ وَالْمَقْتُولُ فِى النَّارِ

" Apabila dua orang muslim saling berhadapan dengan kedua pedangnya maka si pembunuh dan yang dibunuh sama-sama dineraka"

Maka ketika itu Abu Bakrah bertanya kepada Rasulullah: "wahai Rasulullah, sudah pasti orang yang membunuh dia di neraka, tapi yang dibunuh mengapa juga di neraka, apa kesalahannya?".Maka Rasulullah menjawab: "yang dibunuh pun telah bermaksud untuk membunuh temannya itu ", maka keduanya sudah memiliki niat untuk membunuh.
Hadirin hadirat, padahal yang sedang bertikai adalah kelompok sayyidina Ali bin Abi Thalib dan kelompok sayyidah Aisyah Ra ummul mu'minin, tidak mungkin keduanya masuk ke dalam neraka dengan kejadian pertiakaian ini.
Di saat itu sayyidina Ali bin Abi Thalib Kw sebagai Khalifah, dan ketika itu sayyidah Aisyah, sayyidina Zubair bin 'Awwam dan 'Amr bin Ash Radiyallahu 'anhum ajma'in, mereka ingin menuntut pembunuh sayyidina Utsman bin Affan yang bersembunyi memohon pertolongan kepada sayyidina Ali bin Abi Thalib dan jangan sampai mereka dibunuh, maka sayydina Ali berkata bahwa permasalahan sudah selesai, maka dua kelompok bertemu, kelompok sayyidina Ali bin Abi Thalib dan kelompok sayyidah Aisyah yang menuntut untuk segera mengadili orang yang membunuh sayyidina Utsman bin Affan
Maka sayyidina bin Abi Thalib meminta agar mereka tenang saja, karena kekhalifahan sudah diserahkan kepada sayyidina Ali maka dialah yang mengadili pembunuh sayyidina Utsman, maka kelompok sayyidah Aisyah pun tenang, namun orang yang membunuh sayyidina Utsman yang bersembunyi di dalam kelompok sayyidina Ali setelah melihat kejadian mereka tahu bahwa mereka akan diadili juga oleh sayyidina Ali, bukan justru dibebaskan, maka merekapun takut dan khawatir.
Akhirnya mereka menjadi profokator yang kemudian menyerang kelompok sayyidah Aisyah dan terjadilah peperangan dan kelompok sayyidah Aisyah yang kalah sehingga mereka bisa selamat, cara memprofokasi seperti ini sudah ada dari zaman Khulafa'ar rasyidin, maka pasukan orang-orang yang membunuh sayyidina Utsman bin Affan, kaum munafik itu menyerang kelompok sayyidah Aisyah dan merekapun membela diri dan terjadilah pertumpahan darah, tidak lama kemudian peperangan selesai dan sayyidina Ali bin Abi Thalib yang memenangkan peperangan itu, para sahabat enggan untuk memerangi sayyidina Ali karena dia adalah Babul 'Ilm (pintu ilmu), tetapi para sahabat ingin melindungi ummul mu'minin, istri Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, maka disaat itu para sahabat yang lain bertanya: " wahai Khalifah, bagaimana dengan mereka yang kalah, kita tangkap saja mereka", maka sayyidina Ali marah mendengar hal itu, dan berkata: " siapa yang mau menangkap istri Rasulullah, siapa yang mau mengambil harta Rasulullah?! ", semuanya terdiam. Akhirnya maslah pun terselesaikan dan tidak ada masalah lagi.
Hadirin hadirat, hal ini sudah terjadi di masa lalu, kalau sudah terjadi hal yang seperti ini, maka pantaslah jika Abu Bakrah berkata kepada Ahnaf bin Qais untuk kembali pulang dan tidak ikut-ikutan dalam dalam percekcokan yang terjadi antara sayyidina Ali dan sayyidah Aisyah Ra, sayyidina Abu Bakrah mengetahui jika semakin banyak yang datang kesana, maka permasalahan akan semakin rumit.
Kejadian itu terjadi dan diriwayatkan di dalam Shahih Al Bukhari. Kejadian itu saya sampaikan berdasarkan kejadian Qubah Haddad yang lalu, dan saya sarankan kepada jamaah Majelis Rasulullah untuk mundur karena sudah ada mereka yang disana dari masyarakat setempat, jamaah muhibbin juga serta saudara-saudara kita yang lain juga ada disana, dan saya memerintahkan jamaah Majelis Rasulullah supaya mundur, karena memang kita tidak pernah mau berbuat hal yang anarkis dan kekerasan, kita berdakwah dengan kedamaian, tetapi bukan berarti kita hanya diam, dan cukup saya yang bertindak, saya menghubungi Gubernur, saya menghubungi Sekda, saya menghubungi staf khusus kepresidenan agar penggusuran makam dibatalakan, dan aparat kepolisian ditarik karena masyarakat tidak akan pergi jika aparat tidak mundur. Alhamdulillah akhirnya damai juga, dan saat itu Presiden mengutus 3 Menteri kesana dan masalah bisa diselesaikan, Insyaallah.
Hadirin hadirat, namun hati-hati dengan atributmu, saya juga mendapat telepon dari Kapolda yang meminta saya untuk menarik para jama'ah, padahal saya tidak mengirim jamaah kesana , meskipun banyak yang memakai jaket Majelis Rasulullah, dan saya tidak pernah memberi instruksi, seharusnya jangan terjun jika tidak ada instruksi, jika ada instruksi dari pusat untuk terjun maka silahkan terjun.
Majelis Rasulullah bukan majelis pengecut, kita tidak takut mati, kita cinta Allah, rindu kepada Allah dan sayyidina Muhammad shallallahu 'alihi wasallam, maka tidak ada jamaah Majelis Rasulullah yang takut mati, jangan mengira kita adalah penakut tapi kita berjalan dengan mengikuti bimbingan guru kita, jika ada instruksi maka berangkatlah, dan jika tidak ada instruksi janganlah berangkat. Intruksinya adalah jangan dengan jalan kekerasan, mereka yang memilih jalan kekerasan maka silahkan, mereka punya guru sendiri dan tanggung jawab mereka sendiri, dan mereka mengikuti guru mereka tidak salah dan kita juga mengikuti guru kita.
Hadirin hadirat, demikian yang saya perbuat seperti kejadian sayyidina Abu Bakrah Ra yang tidak ingin carut marut, sebagian dari mereka bertanya mengapa saya tidak kesana? Saya katakan kalau saya kesana, dan diliput oleh media bahwa saya ada disana, maka ratusan ribu jama'ah yang akan kesana dan keadaan akan semakin carut marut bukannya semakin aman, maka lebih baik saya tidak datang ke lokasi tetapi saya terus menerus menghubungi Kapolda, Sekda, dan staf khusus kepresidenan agar masalah ini segera ditarik dan diselesaikan, maka tidak perlu repot terjun kesana karena yang membela makam mulia sudah ada.
Namun ketahuilah bahwa makam-makam para shalihin itu ada yang bisa dipindah dan ada yang tidak bisa dipindah, seperti makam Al Habib Nouh Al Habsyi di Singapura tidak bisa dipindah dan tidak ada yang membelanya karena muslimin disana hanya sedikit, mesinnya mati tidak bisa digerakkan, mau digusur juga tidak bisa karena memang Shahibul makam dilindungi oleh Allah subhanahu wata'ala, karena Allah tidak menghendakinya, tetapi ada juga makam yang bisa dipindah seperti makam Ayah Al Habib Umar bin Hud Al Atthas dipindahken ke kuburan Karet karena dikehendaki oleh Allah, bahkan ada makam yang dipindah bukan oleh manusia tetapi dipindah oleh kehendak Allah subhanahu wata'ala dan kejadian ini benar benar terjadi dalam riwayat yang jelas dan terpercaya, dan bukan dalam Shahih Al Bukhari.
Dimana ketika seseorang di London wafat, dan diwaktu yang sama wafat juga seseorang di Madinah Al Munawwarah. Seorang yang wafat di Madinah setelah dimakamkan dan tidak lama setelah itu ibunya datang dan ingin melihat wajah anaknya, dan memaksa untuk menggali lagi kuburan itu sambil menjerit-jerit di kuburan, maka akhirnya digali kuburan itu dan setelah dilihat ternyata jenazah anaknya berubah menjadi orang bule, bukan orang Arab. Semua orang heran dan timbul banyak pertanyaan, tetapi tidak terjawab. Dan kejadian serupa pun terjadi di London setelah kuburan itu digali untuk suatu hal, ternyata jasadnya berubah menjadi orang Arab, rasa heran dan pertanyaan pun tidak terjawab, mengapa jasadnya berubah.
Akhirnya setelah beberapa lama, Allah mentakdirkan kedua wanita bertemu saat umrah, dan saling mengenalkan diri dan berkata bahwa wanita itu berasal dari London dan baru masuk Islam beberapa tahun berselang, setelah keduanya semakin akrab akhirnya wanita itu pun bercerita bahwa ketika itu ada kejadian aneh dimana salah satu saudaranya yang meninggal dan dikuburkan di London, tidak beberapa lama setelah kuburan itu digali dan ternyata jasadnya berubah menjadi orang Arab, dan ia menunjukkan foto orang arab itu, wanita yang satunya kaget dan berkata bahwa foto itu adalah saudaranya yang telah wafat dan dikuburkan di Madinah tetapi setelah kuburan itu digali jasadnya juga berubah menjadi orang bule, kemudian setelah diperlihatkan foto orang bule itu, wanita yang dari London berkata bahwa foto itu adalah keluarganya yang wafat dan dimakamkan di London.
Akhirnya setelah ditanya ternyata lelaki yang wafat yang berasal dari London itu adalah seseorang yang bukanlah dari kalangan berada tetapi dia banyak bershalawat kepada nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam, dan sangat ingin berziarah ke makam sang nabi, sehingga setiap hari yang dibicarakan adalah ziarah kesana tetapi sampai ia wafat pun ia belum sempat berziarah kesana.
Dan sebaliknya orang Arab yang wafat itu selama 50 tahun tinggal di Madinah hingga ia wafat ia tidak pernah mau berziarah ke makam Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Maka Allah subhanahu wata'ala memindahkannya ke London, tidak pantas ia berada di perkuburan Baqi', sedangkan jenazah yang di London yang mencintai dan rindu kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, Allah pindahkan ia ke perkuburan Baqi' di Madinah Al Munawwarah, dan hal ini tidak ada manusia yang memindahkannya tetapi Allah yang memindahkannya karena bumi ini adalah milik-Nya, sebagaimana firman-Nya:

وَمَا ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ بِعَزِيزٍ (فاطر: 17 )

"Dan yang demikian itu tidaklah sulit bagi Allah". ( QS. Fathir: 17 )

Maka hal yang seperti itu bukanlah hal yang sulit bagi Allah subhanahu wata'ala. Demikian hadirin sekalian, masalah yang sudah terjadi biarlah terjadi namun saya mohon janganlah kita lepas dari tuntunan guru mulia kita Al Musnid Al Allamah Al Habib Umar bin Muhammad Al Hafizh, supaya kita jangan mengambil tindakan yang anarkis, kita tetap dengan cara kita, tetapi tidak hanya tinggal diam, kita bergerak tetapi diam-diam saja, biarkan mereka tidak mengetahuinya. Tetapi jika diantara kalian ada yang merasa bahwa langkah Habib Munzir salah, yang benar adalah ikut membela, maka silahkan saja karena saya bukan nabi dan Habib Umar bin Hafizh juga bukan nabi, maka silahkan jika ada diantara kalian yang mau melangkah mengambil tindakan kekerasan tetapi jangan memakai atribut Majelis Rasulullah, karena jika kalian memakai atribut Majelis Rasulullah maka yang bertanggung jawab adalah pimpinannya.
Hadirin hadirat yang dimuliakan Allah
Dalam riwayat Shahih Al Bukhari, ketika sayyidina Hasan bin Ali bin Abi Thalib Kw berada di pangkuan Rasulullah, maka Rasulullah berkata:

اِبْنِيْ هَذَا سَيِّدٌ، وَلَعَلَّ اللهَ يُصْلِحُ بِهِ بَيْنَ فِئَتَيْنِ عَظِيْمَتَيْنِ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ

“Sesungguhnya anakku ini adalah Sayyid (pemimpin). Semoga melalui perantaraannya Allah akan mendamaikan dua kelompok besar kaum muslimin”

Dan ternyata benar, setelah sayyidina Ali bin Abi Thalib wafat maka sayyidina Hasan dikenal sebagai ulama' besar, maka sayyidina Mu'awiyah dihasud oleh kaum munafikin untuk merebut kekhalifahan dari sayyidina Hasan bin Ali bin Abi Thalib Kw, karena sayyidina Hasan adalah salah seorang ulama' dan sayyidina Muawiyah adalah seorang yang ahli strategi dalam kenegaraan maka dialah yang sepantasnya memegang kepemimpinan dan bukan sayyidina Hasan, akhirnya sayyidina Hasan tetap bertahan karena itu adalah mandatnya.
Akhirnya mulailah terjadi pertumpahan darah antara kaum muslimin dan mundurlah sayyidina Hasan bin Ali dan berkata: "Ambillah kepemimpinan ini, bagiku satu tetasan darah muslim yang wafat jauh lebih utama untuk diselamatkan daripada seribu kepemimpinan", akhirnya ia pun mundur dan ia merelakan hal itu demi tidak terjadinya pertumpahan darah anatara muslimin , itulah perbuatan sayyidina Hasan bin Ali bin Abi Thalib Kw.
Begitu pula perbuatan sayyidina Husain bin Ali bin Abi Thalib Kw yang dibunuh oleh pasukan yang menyerangnya karena ia dijebak untuk diperangi, dimana ketika itu sayyidina Husain diundang supaya datang ke wilayah Karbala, dan ia pun datang bersama anak-anak dan istrinya dan bukan untuk perang, karena jika untuk perang beliau tidak akan membawa istri dan anaknya, mereka datang untuk berdamai, namun disampaikan kepada Yazid bahwa Husain putra Ali bin Abi Thalib datang dengan pasukannya untuk merebut kekuasaan, maka Yazid bin Mu'awiyah pun mengerahkan pasukannya dan memerintah untuk membantai sayyidina Husain hingga wafat.
Merekalah dua pemimpin syuhada' di surga, sayyidina Hasan dan Husain Radiyallahu 'anhuma, tidak ada maksud untuk merebut kepemimpinan dan tidak pula untuk pertumpahan darah. Oleh sebab itu Al Imam Ahmad Al Muhajir bin Ahmad bin Isa 'alaihi rahmatullah meninggalkan Baghdad karena takut pertikaian, karena saat itu para Habaib terus dimusuhi dan dicurigai ingin merebut kepemimpinan, maka akhirnya ia pindah ke Hadramaut sebuah tempat yang tandus yang jauh dari perebutan kepemimpinan, padahal beliau adalah imam besar, Ahmad bin Isa adalah seorang ulama' yang sangat luar biasa tetapi mengapa pindah ke lembah yang tandus?, karena ia ingin menyelamatkan keturunannya agar tidak menjadi orang-orang yang dibantai dan terkena fitnah dalam masalah kepemimpinan, dan ternyata pindahnya Al Imam Ahmad Al Muhajir ke Hadramaut tidak membuat dakwahnya padam, justru keturunannya lah yang berpencar dan diantaranya adalah Wali Songo yang sampai ke pulau Jawa, diantaranya juga ada yang sampai ke Papua, Makassar dan ke seluruh dunia dan kebanyakan dari mereka adalah keturunan Al Imam Ahmad Al Muhajir bin Ahmad bin Isa.
Hadirin hadirat, demikianlah kembang dan bunga dari kedamaian, dan buah dari lari dari pertikaian dan perpecahan adalah kesuksesan saat ia hidup dan setelah ia wafat, kesuksesan perjuangannya abadi hingga hari kiamat.
Hadirin hadirat yang dimuliakan Allah
Oleh sebab itu, sayyid Al Faqih Muqaddam Muhammad bin Ali Ba'alawy pimpinan thariqah 'alawiyah mematahkan pedangnya dan berkata: "Mulai saat ini keturunanku tidak akan lagi turun ke dalam kancah peperangan, pertempuran atau perebutan kepemimpinan", demikian perbuatan sayyidina Al Faqih Muqaddam Muhammad bin Ali Ba'alawy, dan tentunya kita mengikuti khalifah kita, dari guru ke guru sampai kepada sayyidina Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam yang tidak menghendaki terjadi pertikaian, sebagaimana sabda beliau, "bahwa setelah beliau wafat, maka janganlah terjadi saling hantam antara satu ummat dan yang sama lainnya".
Mari kita bermunajat kepada Allah subhanahu wata'ala supaya Allah satukan kita dalam satu shaf tanpa ada perpecahan dan saudara-saudara kita yang bertindak dengan ketegasan tentunya tidak ada permusuhan dengan kita, karena masing-masing memiliki strategi dakwah, dan strategi kita adalah kedamaian mengikuti guru mulia kita, dan mereka pun mengikuti guru mereka.
Hadirin hadirat, satu hal lagi yang ingin saya sampaikan adalah mohon doa dari jamaah sekalian dengan dekatnya acara bersama guru mulia Al Musnid Al Allamah Al Habib Umar bin Muhammad Al Hafizh yang akan tiba di Indonesia pada pertengahan bulan Juni, dan Alhamdulillah telah disepakati untuk malam Jum'at insyaallah kita adakan acara dzikir dan tabligh akbar bersama beliau di Gelora Bung Karno, kemudian tabligh akbar juga bersama beliau malam Selasa di Monas, dan sepuluh hari setelahnya adalah acara akbar Isra' Mi'raj.
Tiga acara akbar, dua acara dihadiri oleh guru mulia insyaallah, dan yang ketiga kita akan berkumpul setelah kepulangan beliau ke Tarim Hadramaut, semoga acara-acara ini sukses, amin. Kita sukseskan acara ini, kemarin ketika 12 Rabiul Awal telah berkumpul 1 juta muslimin muslimat untuk berdzikir "Ya Allah" 1000 kali bersama-sama, semoga acara-acara kita yang akan datang bersama guru mulia lebih banyak lagi yang hadir.
Hadirin hadirat, kita tidak pernah berhenti berjuang untuk terus membenahi seluruh bangsa kita, bumi Jakarta dan seluruh wilayah di barat dan timur semoga semakin makmur dengan panji dan dakwah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam Ya Rahman Ya Rahim Ya Dzal Jalali wal ikram, kami bermunajat kehadirat-Mu agar Engkau tumpahkan kepada kami kebahagiaan dunia dan akhirah, kami telah memahami bahwa semua kami yang hadir disini dan yang mendengar telah Engkau izinkan untuk sampai kepada rahmat ini, entah dengan jasad kami atau dengan telinga kami, maka sampaikan kami pada samudera rahmat-Mu dunia dan akhirah dan terbitkan matahari kebahagiaan dunia dan akhirah, matahari kemuliaan dunia dan akhirah, percepatlah terbitnya kemakmuran bagi muslimin muslimat Ya Rahman Ya Rahim Ya Dzal Jalali wal Ikram.
Semoga semua yang hadir di tempat ini dan yang mendengarkan di tempat yang jauh semoga selalu dalam kebahagiaan, selalu dalam keluhuran, selalu dalam pengampunan, selalu dalam kesucian, selalu dalam pengabulan doa dan munajat, selalu dalam kemakmuran dunia dan akhirah, Rabbi...tanda-tanda munculnya kemakmuran telah kami lihat, perpecahan semakin banyak, pembunuhan semakin banyak, gempa bumi semakin banyak, yang mengaku nabi semakin banyak, maka kami menanti janji nabi-Mu yang terakhir yaitu terbitnya kemakmuran, maka terbitkanlah Ya Allah…
فَقُوْلُوْا جَمِيْعًا ...
Ucapkanlah bersama-sama

يَا الله...يَا الله... ياَ الله.. ياَرَحْمَن يَارَحِيْم ...لاَإلهَ إلَّاالله...لاَ إلهَ إلاَّ الله مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. كَلِمَةٌ حَقٌّ عَلَيْهَا نَحْيَا وَعَلَيْهَا نَمُوتُ وَعَلَيْهَا نُبْعَثُ إِنْ شَاءَ اللهُ تَعَالَى مِنَ اْلأمِنِيْنَ
Hadirin hadirat yang dimuliakan Allah
Kita terus berdoa semoga Allah subhanahu wata'ala menjaga bumi Jakarta dan bangsa kita dari perpecahan, fitnah dan permasalahan, semoga acara-acara kita bersama guru mulia sukses dan yang hadir lebih dari 1 juta insyaallah, dan lebih banyak lagi yang hadir di acara-acara selanjutnya, amin allahumma amin.
Jadilah pejuang-pejuang Rasulullah, yaitu yang selalu memperjuangkan sunnah beliau shallallahu 'alaihi wasallam, maka berjuanglah dengan kedamaian, dengan ketenangan, dengan kebaikan dan serta memperbanyak ibadah dan doa maka hal itu telah mengkelompokkan kita dalam kelompok para pendukung sayyidina Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam, semoga Allah memuliakan kita, tidak lupa juga permohonan doa bagi saudara-saudara kita yang akan menerima kabar kelulusan ujian semoga diberi kelulusan, dan diberi kesuksesan oleh Allah.
Ada yang diberi kelulusan dan gembira tetapi setelah lulus tidak sukses hidupnya, ada juga yang diberi tidak lulus tetapi setelah itu ia sukses dalam hidupnya, ada yang lulus dan sukses tetapi di akhirat terhinakan, wal'iyadzubillah. Kita meminta kelulusan dan kesuksesan di dunia dan akhirah, amin. Kita lanjutkan dengan qasidah mengingat kembali keindahan nabi kita Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam, tafaddhal.

majelisrasulullah.org

Apa Ahlussunnah Wal Jama’ah

Ahlusunnah wal jama’ah adalah salah satu jalan pendekatan diri kepada Allah SWT yang perpegang kepada 4 (empat) :

 1. Al-Qur’an

2. Hadits

3. Ijma’

4. Qiyas

 Arti Ahlussunnah wal jama’ah itu sendiri diambil dari Hadits Rasulullah SAW yang beliau sabdakan :

 “Islam akan menjadi terbagi menjadi 73 golongan, satu golongan yang masuk surga tanpa di hisab”, sahabat berkata : siapakah golongan tersebut ya Rasulullah ?, Nabi bersabda : “ Ahlussunnah wal jama’ah“.

Yang kita tanyakan, apa itu Ahlussunnah wal jama’ah ?

     Semua golongan mengaku dirinya Ahlussunnah tetapi sebenarnya mereka bukan Ahlussunnah wal jama’ah karena banyak hal-hal yang mereka langgar yang mereka jalankan di dalam ajaran agama Islam, tetapi tetap mereka mengakui diri mereka yang benar. Sebenarnya kita harus mengetahui apa yang kita pelajari di dalam agama Islam atau yang kita amalkan di dalam Islam maka kita akan mengetahui kebenarannya di dalam ajaran Ahlussunnah wal jama’ah. Allah SWT telah mengucapkan di dalam surat Al Fatihah pada ayat yang 5 dan ayat yang ke 6, Allah SWT mengucapkan di dalam ayat yang ke 5 jalan yang lurus dan pada ayat yang ke 6 jalan-jalan mereka, yang kita tanyakan siapa mereka-mereka itu ?

 

Ulama Ahlussunnah wal jama’ah mereka bersepakat :

1. Mereka adalah Nabi Muhammad SAW dan para sahabat-sahabatnya

2. Penerus sahabat-sahabat Nabi Muhammad SAW yang dinamakan Tabi’in

3. Tabi’-tabi’in adalah pengikut yang mengikuti orang yang belajar kepada

    sahabat Rasulullah SAW.

4. Dan para ulama sholihin.

 

Yang ditanyakan siapa mereka para ulama sholihin itu ?

 

Ulama sholihin adalah ulama-ulama yang mengikuti jejak mereka di atas yang 3 dan ulama ini sangat banyak sekali di muka bumi maka mereka menamai dirinya atau golongannya dengan nama “Ahlussunnah wal jama’ah ”.

 Apa yang mereka ajarkan ?

 Kita akan mengenalkan mereka dengan kitab-kitabnya yang telah tersebar luas di dunia seperti Imam Ghozali, Imam Syafi’i, Imam Hambali, Imam Hanafi, Imam Maliki dan banyak daripada itu pula dari keturunan Rasulullah SAW yang menamai julukan mereka habaib atau habib, diantara mereka adalah Al habib Abdullah Bin Alwi Al Haddad yang satu diantara karangannya adalah Nashoihuddiyyah dan banyak lagi yang lainnya.

 

Cara-cara mereka akan lebih dekat kita kenal dengan amalan-amalan mereka yang sering kita dapati di tiap-tiap wilayah diantaranya mereka mendirikan perkumpulan dengan pembacaan sejarah Nabi Muhammad SAW yang dinamakan dengan “Maulid” dan pembacaan Do`a Qunut, Tahlil, Ratib, Ziarah Kubur, Pengadaan Haul para Aulia, Ini diantara amalan-amalan Ahli Sunah Wal Jama`ah.

 

 Maka jika dijelaskan sangat panjang, silahkan anda membaca kitab/buku-buku yang dikarang oleh mereka dari karangan-karangan yang berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits-hadits Rasulullah SAW, kita akan mengetahui kebenaran ilmu mereka maka kita harus prihatin di zaman ini banyak sekali golongan-golongan yang akan menyesatkan umat manusia karena kebodohan dan kurangnya pengertian jalan yang mereka ikuti sehingga mereka terjerumus kedalam jalan golongan-golongan yang sesat, maka berhati-hatilah membawa diri kita dan keluarga kita agar kita tidak terjerumus kedalam golongan yang tidak ada jaminan dari Rasulullah SAW.

 

 

sumber  dikirim oleh :  Majlis Ta'lim Nurul Musthofa

Pentingnya Ilmu Dalam Pernikahan

Pernikahan adalah hal yang fitrah….. didambakan oleh setiap orang yang normal, baik itu laki-laki maupun perempuan yang sudah baligh. Dan disyariatkan oleh Islam, sebagai amalan sunnah bagi yang melaksanakannya.

Allah SWT menciptakan manusia dengan rasa saling tertarik kepada lawan jenis dan saling membutuhkan, sehingga dengan itu saling mengasihi dan mencintai untuk mendapatkan ketenangan dan keturunan dalam kehidupannya. Bahkan pernikahan adalah merupakan rangkaian ibadah kepada Allah SWT yang di dalamnya banyak terdapat keutamaan dan pahala besar yang diraih oleh pasangan tersebut.
Walaupun demikian, banyak kita jumpai pada saudara-saudarai kita tealah salah menilai suatu pernikahan, bahkan di kalangan mereka tidak mengerti ilmu sekalipun.Langkah awal melakukan pernikahan didasari karena ingin lari dari suatu problem yang sedang dialami. Sebagai contoh kasus dibawah ini:
Fulanah adalah seorang muslimah, yang sudah mengkaji ilmu dien. Ia mempunyai konflik yang cukup berat dengan orang tuanya, mungkin dengan sedikitnya ilmu maka ia kurang bisa dalam bermuamalah dengan orang tuanya, atau mungkin juga karena kurang fahamnya tentang bagaimana pengalaman daripada Birrul-walidain (Berbakti kepada kedua orang tua-ed). Masalahnya ia akan dijodohkan dengan lelaki pilihan orang tuanya yang menurutnya tidak sepaham dalam hal manhaj (pemahaman).
Alasan ini adalah terpuji di dalam Islam, namun cara pendekatan dan cara menolak kepada orang tuanya yang mungkinkurang baik. Keua orang tuanya mendesak terus agar ia menerima lelaki yang dianggap tepat untuk pasangan hidup anaknya. Fulanah sangat bingung, apalagi orangtuanya mulai mengancam dengan berbagai ancaman. Kebingungannya itu, ia kemukakan kepada salah seorang teman perempuannya sepengajian yang sudah nikah. Temannya itu pun dengan spontan menyarankan supaya dia menikah dengan teman suaminya. Fulanah dengan senang hati menerima usulan tersebut, sejuta harapan yang indah …. bayangkan ! Ia akan terbebas dari problem yang sedang ia hadapi dan dapat menjadi istri seseorang yang sefaham dengannya nanti … bisa ngaji sama-sama, bisa mengamalkan ilmu sama-sama. Lelaki yang dimaksudpun akhirnya merasa iba setelah mendengar cerita tentang keistiqomahan Fulanah. Dia beranggapan bahwa Fulanah lebih perlu ditolong, sekalipun cita-citanya yang menjadi taruhannya. Sebenarnya ia belum siap untuk menikah, karena sedang menimba ilmu dien bahkan baru mulai merasakan lezatnya menimba ilmu.
Singkat cerita akhirnya dengan izin Allah menikahlah mereka. Orang tuanya yang tadinya bersikeras, mengizinkan dengan ketulusan hati seorang bapak kepada putrinya, demi kebaikan anaknya. Pernikahan berlangsung dengan disaksikan oleh kedua orangtua Fulanah dan teman-temannya.
Mulanya pasangan ini kelihatan bahagia. Dengan seribu cita-cita dan angan-angan. Fulanah ingin membentuk rumah tangga yang Islami bersama suami yang akan selalu membimbing dia dan akan selalu bersama disampingnya.
Hari-hari terus berjalan sebulan-dua bulan…, mereka mulai mengetahui kelemahan masing-masing, dan mulailah timbul perasaan kecewa di hati mereka, harapan dan cita-cita tidak sesuai dengan kenyataan. Si isteri kurang mengetahui tentang hal-hal yang harus ia lakukan, misalnya ketika suami pulang dari luar rumah; ia berpenampilan seadanya, bahkan terkesan kusut dan tidak menarik. Mungkin ia menganggap suaminya orang baik yang tidak perlu memandang wanita yang berpenampilan indah dan menarik.
Ini hanya satu contoh dan masih banyak hal lagi yang membuat suami kecewa. Sang suami yang sudah pernah merasakan lezatnya menimba ilmu, ingin kembali sibuk dalam majlis ilmu. Baginya duduk bersama teman-teman semajlis ilmu lebih mengasyikkan dari pada duduk bersama isteri yang “menjenuhkan ?.
Fulanah yang masih kurang ilmu diennya, menilai bahwa suaminya telah menelantarkannya. Fulanah merasa tertekan melihat tingkah laku suaminya yang demikian. Tak tahu harus berbuat apa. Ia memang kurang mempunyai bekal ilmu untuk menghadapi pernikahan. Konflik rumah tangga pun terjadi.
Ternyata konflik dengan orang tuanya yang dulu, lebih ringan rasanya dibanding dengan konfliknya yang sekarang. Kalau sudah seperti ini …. apa yang ingin ia lakukan? Cerai … dan kembali ke orang tua ? …. wal’iyadzubillah, bukan hal yang mudah !
Sesungguhnya kasus yang terjadi di atas banyak kita jumpai di kalangan muslim dan muslimah yang tanpa pikir panjang dan tanpa persiapan apa-apa dalam langkahnya menuju nikah. Bahkan ada problem rumah tangga yang lebih parah lagi akibat dari pernikahan yang tanpa dilandasi oleh ilmu dien, amalan dan ketaqwaan. Misalnya ada kemaksiatan yang terjadi di dalam rumah tangga tersebut ; suami menyeleweng atau sebaliknya, yang membuat rumah tangga menjadi runyam berantakan.
Nikah yang katanya untuk mendapatkan kebahagiaan dan ketenangan serta untuk mewujudkan cita-cita yang indah dan mulia, menjadi sebaliknya. Akhirnya keluarga dan anak-anak yang akan jadi korban kecerobohan karena faktor ketergesaan.
Memang untuk mendapatkan keluarga sakinah seperti yang dicita-citakan setiap muslim dan muslimah, tidak semudah yang dibayangkan. Ternyata pemahaman ilmu dien yang cukup dari masing-masing pihak memegang peran penting untuk mewujudkan cita-cita tersebut, mengingat dalam rumah tangga banyak permasalahan yang akan timbul. Seperti bagaimana memenuhi hak dan kewajiban suami-istri, apa tugas masing-masing dan bagaimana cara mendidik anak. Bagaimana mungkin jika tidak kita persiapkan sebelumnya? Disinilah salah satu hikmah diwajibkannya bagi setiap muslim untuk mencari ilmu.

Pentingnya Ilmu

Menuntut ilmu wajib bagi setiap muslim. Hal ini sesuai dengan hadits Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam yang diriwayatkan oleh sekelompok shahabat di antaranya Anas bin Malik radiyallahu ‘anhu :
“Menuntut ilmu adalah wajib bagi setiap muslim ?
(HR. Ahmad dalam Al’Ilal, berkata Al Hafidz Al Mizzi; hadits hasan. Lihat Jami’ Bayan Al-Ilmi wa Fadhlihi, ta’lif Ibnu Abdil Baar, tahqiq Abi Al Asybal Az Zuhri, yang membahas panjang lebar tentang derajat hadits ini)
Ilmu yang demaksud di atas adalah ilmu dien yaitu pengenalan petunjuk dengan dalilnya yang memberi manfaat bagi siapa pun yang mengenalnya.
Kita harus berilmu agar selamat hidup di dunia dan di akhirat. Karena dengan berilmu kita akan tahu mana yang diperintahkan oleh Allah SWT dan mana yang dilarang, atau mana yang disunnahkan oleh Rasul-Nya dan mana yang tidak sesuai dengan sunnah (bid’ah).
Dengan ilmu kita tahu tentang hukum halal dan haram, kita mengetahui makna kehidupan dunia ini dan kehidupan setelah kematian yaitu alam kubur, kita tahu kedahsyatan Mahsyar dan keadaan hari kiamat serta kenikmatan jannah dan kengerian neraka, dan lain sebagainya.
Dengan ilmu dapat mendatangkan rasa takut kepada Allah Ta’ala, karena sungguh Dia Yang Maha Mulia telah berfirman :
“Sesungghnya yang paling takut kepada Allah di antara hamba-hambaNya adalah orang yang berilmu (ulama). ? (QS. Fathir : 28)
Dengan rasa takut kepada Allah ta’ala amalan yang kita lakukan ada kontrolnya, dibenci atau diridhai oleh Allah ta’ala.
Imam Ahmad berkata :
“Asalnya ilmu adalah takut (takwa) kepada Allah Ta’ala ? (Lihat Hilyah Thalibul ‘Ilmi, ta’lif Bakr bin Abdillah Abu Zaid, hal. 13)
Orang yang berilmu akan tahu betapa berat siksa Allah sehingga ia takut berbuat maksiat kepada Allah. Ilmu juga membuat orang tahu betapa besar rahmat Allah Ta’ala sehingga dalam beramal ia selalu mengharap ridha-Nya semata.
Perlu diingat bahwa bukanlah yang dimaksud dengan orang berilmu itu adalah orang yang memiliki banyak kitab atau riwayat yang diketahui, tapi yang dinamakan berilmu apabila orang tersebut memahami apa yang disampaikan kepadanya dari ilmu-ilmu tersebut dan mengamalkannya. (Lihat Syarhus Sunnah oleh Al Imam Al Barbahari)
Ilmu merupakan obat bagi hati yang sakit dan merupakan hal yang paling penting bagi setiap manusia setelah mengenal diennya. Sehingga dengan mengenal ilmu dan mengamalkannya akan menjadi sebab bagi setiap hamba untuk masuk jannah-Nya Allah Ta’ala dan bila jahil terhadap ilmu bisa menyebabkan ia masuk neraka.
Ilmu adalah warisan dari para Nabi dan merupakan cahaya hati, setinggi-tinggi derajatnya di antara manusia dan sedekatnya-sedekatNya manusia kepada-Nya. Sebagaimana firman Allah ta’ala :
“… Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat…. ? (Al Mujaadilah : 11)
Kebutuhan seorang hamba akan ilmu dien ini, melebihij kebutuhan akan makan dan minum sampai digambarkan bahwa kebutuhan ilmu itu sama seperti manusia membutuhkan udara untuk bernapas.
Ilmu Sebagai Landasan Untuk Membentuk Rumah Tangga
Karena nikah merupakan amalan yang sangat mulia di sisi Allah SWT dan merupakan rangkaian dari ibadah, maka menikah dalam Islam bukan hanya untuk bersenang-senang atau mencari kepuasan kebutuhan biologis semata. Akan tetapi seharusnyalah pernikahan dilakukan untuk menimba masyarakat kecil yang shalih yaitu rumah tangga dan masyarakat luas yang shalih pula sesuai dengan Al-Qur’an dan As Sunnah menurut pemahaman As Shalafus Shalih.
Perlu diketahui bahwa sesungguhnya pasangan suami isteri dalam kehidupan berumah tangga akan menghadapi banyak problem dan untuk mengatasinya perlu ilmu. Dengan ilmu, pasangan suami istri tahu apa tujuan yang akan dicapai dalam sebuah pernikahan yaitu untuk beribadah kepada Allah SWT, dan dalam rangka mencari ridha-Nya semata.
Di samping itu juga dengan ilmu sepasang suami-istri sama-sama mengetahui hak dan kewajibannya. Sehingga jalannya bahtera rumah tangga akan harmonis dan baik.
Suami dan istri juga diamanahi Rabb-Nya untuk mendidik anak keturunannya agar menjadi generasi Rabbani yang tunduk pada Al Qur’an dan As Sunnah sesuai dengan pemahaman salaful ummah. Agar keturunan yang terlahir dari pernikahan tersebut tumbuh di atas dasar pemahaman, dasar-dasar pendidikan imand dan ajaran Islam sejak kecil sampai dewasanya. Sungguh … ini merupakan tugas yang berat dan tentu saja butuh butuh ilmu.
Dari sinilah terlihat betapa pentingnya ilmu sebagai bekal bagi kehidupan rumah tangga muslim.
Tarbiyah Dalam Rumah Tangga
Dalam rumah tangga, suami merupakan tonggak keluarganya, pemimpin yang menegakkan urusan anak dan istrinya.
Allah SWT berfirman :
“Kaum laki-laki itu adalah pemipin bagi kaum wanita … ? (An Nisaa : 34)
Salah satu tugas suami sebagai qowwam adalah meluruskan keluarganya dari penyimpangan terhadap al-haq dan mengenalkan al-haq itu sendiri. Seharusnyalah seorang suami menyediakan waktunya yang terdiri dari 24 jam untuk mentarbiyah keluarganya yang dimulai dengan istri untuk dipersiapkan sebagai madrasah bagi keturunannya. Tumbuhkan kecintaan terhadap ilmu di hati istri (syukur kalau memang sejak sebelum nikah si istri sudah mencintai ilmu) agar kelak ia dapat mendidik anak-anaknya untuk mencintai ilmu dan beramal dengannya.
Walaupun Islam telah menetapkan bahwa memberikan pengajaran, mendidik dan mengarahkan istri merupakan salah satu kewajiban suami namun sangat disayangkan masih banyak kita jumpai suami yang melalaikan dan menggampangkan hal ini. Atau si suami merasa cukup dengan pengetahuan dien yang minim dari sang istri sehingga menganggap tidak perlu menyediakan waktu untuk mendidik dan memberikan nasehat.
Mungkin kasus ini seperti ini tidak hanya kita jumpai di kalangan orang yang awam bahkan di kalangan du’at (para da’i). Kita lihat mereka sibuk mengurusi da’wah di luar rumah, sementara istrinya di rumah tidak sempat didakwahi. Akibatnya si istri tidak ngerti thaharah yang benar, shalat yang sesuai sunnah, mana tauhid mana syirik dan lain-lain (mungkin kalau si istri sebelum menikah sudah mempunyai ilmu, hal tersebut tidak menjadi masalah, tapi bagaimana kalau istrinya masih jahil ?) Sungguh hal ini perlu menjadi perhatian bagi para suami.
Allah SWT berfirman :
“Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu …. ? (QS. At-Tahrim : 6)
Berkata Imam Ali Radiyallahu ‘anhu juga Mujahid dan Qatadah dalam menafsirkan ayat diatas: “Jaga diri kalian dengan amal-amal kalian dan jaga keluarga kalian dengan nasehat kalian ?
Dan sesungguhnya penjagaan itu tidak akan sempurna kecuali dengan iman dan amal yang baik setelah berupaya menjauhi syirik dan perbuatan maksiat. Semuanya ini menuntut adanya ilmu dan persiapan diri untuk mengamalkan apa yang telah diketahui (Lihat Aysaru At-Tafasir li Kalami Al-’Aliyul Kabir juz 5, hal. 387, ta’lif Abu Bakar Jabir Al Jazairi)
Berkata Imam Al Qurthubi dalam tafsirnya: “Karena itu wajib bagi kaum laki-laki (suami) untuk memperbaiki dirinya dengan ketaatan dan memperbaiki isterinya dengan perbaikan seorang pemimpin atas apa yang dipimpinnya. Dalam hadits yang shahih Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan ditanyai tentang apa yang dipimpinnya. Imam merupakan pemimpin manusia dan ia akan ditanyai tentangnya dan laki-laki (suami) adalah pemimpin keluarganya dan akan ditanyai tentangnya. ?
Al Qusyairi menyebutkan dari Umar Radiyallahu ‘anhu yang berkata tatkala turun ayat dalam surat At Tahrim di atas: “Wahai Rasulullah, kami menjaga diri kami, maka bagaimanakah cara kami untuk menjaga keluarga kami ? ? Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam menjawab: “Kalian larang mereka dari apa-apa yang Allah larang pada kalian untuk melakukannya dan perintahkan mereka dengan apa yang Allah perintahkan. ?
Berkata Muqatil: “Yang demikian itu wajib atasnya untuk dirinya sendiri, anaknya, istrinya, budak laki-laki dan perempuannya. ?
Berkata Al-Kiyaa: “Maka wajib atas kita untuk mengajari anak dan istri kita akan ilmu agama, kebaikan serta adab. ? (Lihat Tafsir Al Qurthubi juz 8, hal. 6674-6675).
Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam sebagai teladan yang termulia menyempatkan waktu untuk mengajari istrinya sehingga kita bisa mendengar atau membaca bagaimana kefaqihan ummul mu’minin ‘Aisyah Radiyallahu ‘anha.
Para shahabat beliau Radiyallahu ‘anhum, tatkala tatkala turun ayat ke 31 surat An Nur :
… Dan hendaklah mereka (wanita yang beriman) menutupkan kain kudung ke dadanya … (An Nur : 31)
Mereka pulang menemui istri-istrinya dan membacakan firman Allah di atas, maka bersegeralah istri-istri mereka melaksanakan apa yang Allah perintahkan (Lihat Tafsir Ibnu Katsir, juz 3 hal. 284)
Ini merupakan contoh bagaimana suami menyampaikan kembali kepada istrinya dari ilmu yang telah didapatkannya di majlis ilmu, sudah seharusnya menjadi panutan bagi kita.
Sebagai penutup, kami himbau kepada mereka yang ingin menikah atau sudah menikah agar tidak mengabaikan ilmu, dan berupaya memilih pasangan yang cinta akan ilmu agar kelak anak turunan juga dididik dalam suasana kecintaan akan ilmu.
Wallahu a’lam
(By: Ida & Ummu Ishaq Zulfa Husein)

Dinamika Iman

MUKADDIMAH

Makna iman dalam perspektif Islam bukanlah sekadar percaya melainkan harus melingkupi tiga aspek yang kesemuanya ada pada manusia yakni qalb (hati), lisan dan amal shaleh. Artinya seseorang yang beriman harus meyakini dalam hatinya dengan sesungguh-sungguhnya tentang semua hal yang harus diyakininya. Kemudian menjelaskan dengan lisannya sebagai sebuah pernyataan keimanan yang membawa konsekuensi-konsekuensi tertentu. Dan akhirnya dijabarkan dan dibuktikan secara kongkrit dalam amal perbuatannya.
Tidak bisa dikatakan beriman seseorang, bila ia tidak memenuhi tiga kriteria kelengkapan iman tersebut. Misalnya seperti paman Nabi SAW, yakni Abu Thalib, yang sebenarnya di lubuk hatinya meyakini kebenaran risalah yang dibawa kemenakannya dan sikap serta perilakunya menunjukkan bahwa ia selalu siap menjaga dan melindungi Rasulullah SAW.
Namun karena beliau tidak juga kunjung mau melafalkan keimanannya, maka beliau mati tetap dalam keadaan kafir dan dikatakan kelak masuk neraka, walaupun dengan hukuman teringan. Hal yang sebaliknya justru ada pada tokoh munafik yakni Abdullah bin Ubay bin Salul. Sosok ini menggembor-gemborkan lafas keimanannya dan menunjukkan sikap serta amalan selaku seorang muslim, tetapi hatinya mengingkari hal itu dan senantiasa diliputi hasad, kebusukan dan kebencian sehingga selalu secara diam-diam sibuk melakukan intrik-intrik, manuver-manuver, ”kasak-kusuk”, membuat dan menyebarkan isu, fitnah dan provokasi. Pendek kata benar-benar musuh dalam selimut yang menggunting dalam lipatan
Selanjutnya tipe ketiga, yakni tipe orang yang meyakini keimanan dalam hatinya, melafalkannya namun enggan melaksanakan konsekuensi-konsekuensi keimanannya tersebut. Orang-orang seperti ini dikategorikan orang-orang fasiq”.
Kemudian hal-hal apa saja yang harus diimani? Obyek yang harus diimani adalah semua yang termasuk dalam rukun iman yang enam, seperti yang tercantum dalam QS Al-Baqarah ayat 285 dan kemudian hadist Jibril yang terkenal. Keenam rukun iman tersebut ialah iman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, takdir yang baik dan buruk serta hari kiamat
Keimanan seseorang terhadap rukun iman tersebut membawa konsekuensi-konsekuensi logis yang harus dijalaninya. Iman kepada Allah seyogianya membuat seseorang menjadi taat kepada-Nya, menjalankan semua yang diperintahkan-Nya dan menjauhi semua yang dilarang-Nya serta selalu bersandar dan memohon pertolongan kepada-Nya, takut kepada ancaman dan neraka-Nya dan rindu serta mengharapkan ampunan, pahala dan syurga-Nya. Di samping itu tentu saja selalu ingat dan bersyukur kepada-Nya.
Berikutnya iman kepada malaikat membawa konsekuensi kita berhati-hati dalam sikap, perkataan, dan perbuatan karena di kanan dan di kiri kita ada Raqib dan Atid yang siap mencatat segala yang baik maupun yang buruk yang kita kerjakan.
Sedangkan iman kepada kitab-kitab-Nya membuat kita mengimani semua kitab suci yang berasal dari-Nya. Namun kitab-kitab suci terdahulu adalah sesuatu yang sudah habis masa berlakunya dan telah dikoreksi dan disempurnakan di dalam kitab yang terakhir: Al-Qur’an. Sehingga Al-Qur’an sajalah yang menjadi sumber acuan kita dalam segala aspek kehidupan.
Kemudian iman kepada nabi-nabi membawa konsekuensi kita harus meneladaninya. Dan tidak membeda-bedakannya (QS 2:285). Namun tentu saja uswah dan panutan utama kita adalah Rasulullah Muhammad SAW (QS 33:21)
Berikutnya iman kepada takdir yang baik dan buruk membuat kita akan selalu berusaha, berikhtiar optimal dan kemudian bertawakal atau berserah diri kepada Allah. Jika berhasil, itu berarti takdir baik berupa karunia Allah yang haus disyukuri dan bila gagal atau terkena musibah, itu berarti taqdir buruk berupa cobaan yang harus disabari dan diterima.
Dan akhirnya iman kepada hari akhir atau kiamat akan menyebabkan kita selalu waspada dan berhitung atau mengkalkulasi pahala dan dosa kita serta mempersiapkan bekal untuk hari kiamat itu (QS 59:18) berupa ketakwaan karena segala sesuatunya akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah kelak.

Dinamika iman dan bagaimana berinteraksi dengan kedinamisan iman tersebut.

قَالَتِ الْأَعْرَابُ ءَامَنَّا قُلْ لَمْ تُؤْمِنُوا وَلَكِنْ قُولُوا أَسْلَمْنَا وَلَمَّا يَدْخُلِ الْإِيمَانُ فِي قُلُوبِكُمْ وَإِنْ تُطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ لَا يَلِتْكُمْ مِنْ أَعْمَالِكُمْ شَيْئًا إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Orang-orang Arab Badwi itu berkata, “Kami telah beriman”. Katakanlah (kepada mereka), “Kamu belum beriman, tetapi katakanlah, “Kami telah tunduk”, karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu dan jika kamu ta`at kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tiada akan mengurangi sedikit pun (pahala) amalanmu; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S. Al-Hujurat:14)
Dari ayat tersebut di atas kita bisa melihat bahwa masalah iman bukanlah masalah sederhana, karena dibutuhkan waktu, jihad, kesungguh-sungguhan dalam ibadah, ketabahan selain juga faktor hidayah untuk membuat keimanan seseorang benar-benar mengakar, menukik, bahkan menghunjam ke dalam lubuk hati.
Kemudian persoalan berikutnya adalah kenyataan bahwa iman itu dinamis, fluktuatif atau turun-naik. Jadi setelah iman sudah ada di dalam hati, penting untuk selalu dideteksi apakah iman kita meningkat dan bertambah atau justru menurun dan berkurang.
Dalam hadis Nabi SAW disebutkan, Al-iman yazid wa yanqush” (Iman bisa bertambah atau berkurang). Karena itu seorang yang beriman harus selalu berusaha memperbaharui dan meningkatkan keimanan nya. Seperti halnya tanaman, pohon, atau tumbuh-tumbuhan yang dapat kering, layu, atau bahkan mati bila tak disiram atau diberi pupuk, demikian pula halnya dengan keimanan yang dimiliki seseorang.
Begitu rentannya hati terhadap fluktuasi iman digambarkan oleh Abdullah bin Rawahah ra, Berbolak-baliknya hati lebih cepat dibanding air yang menggelegak di periuk tatkala mendidih.”
Dari tinjauan etimologisnya saja, hati, qalban adalah sesuatu yang berbolak-balik sudah, nampak pula kerentanannya. Dan karena iman tempat di hati, seyogianyalah kita mewaspadai berbolak-baliknya hati dan turun naiknya iman.
Karena itu dalam surat Ali Imran: 8, Allah menuntun agar kita berdoa minta diberikan hidayah, rahmat dan ketetapan hati. Demikian pula doa yang dicontohkan Nabi saw. Ya Allah, yang pandai membolak-balikkan hati, tetapkan hati hamba pada agamamu.
Mengapa kita harus terus berdoa seperti itu? Karena usaha menjaga keimanan agar tetap survive dan kalau bisa meningkat adalah hal yang sangat berat, apalagi sampai membuat iman itu berbuah.
Syaikh Ibnul Qayyim Al-Jauziyah pernah mengungkapkan kata-kata bijak, Dunia adalah ladang tempat menanam kebajikan yang hasilnya akan kita tuai, panen di akhirat kelak.”
Menurut Ibnul Qayyim pula, iman yang dimiliki seseorang adalah modal berupa bibit. Dan agar bibit itu tumbuh dan berbuah ia harus senantiasa disiram dan dipupuk oleh ketaatan kepada Allah.
Kita memang tidak bisa mengukur atau memprediksikan besar kecilnya kadar keimanan seseorang, namun paling tidak kita bisa melihat bias dan imbas keimanannya dari libasut taqwa, pakaian takwa yang dimilikinya dan implementasi iman berupa ibadah, amal shaleh dan ketaatan yang dilakukannya.
Seberapa besar dan banyak bibit yang dimiliki seseorang dan sejauh mana ia merawat, menjaga, menyirami dan memberinya pupuk dengan ketaatannya kepada Allah, maka sebegitu pulalah buah yang akan dituainya kelak di akhirat.
Rasulullah saw. pun menegaskan, “Al iman yaazidu bi thoat wa yanqushu bil maksiat. Iman akan bertambah/meningkat dengan ketaatan dan akan berkurang atau menurun dengan kemaksiatan yang dilakukan.

1. Sebab-sebab bertambah dan berkurangnya iman

Merujuk kepada hadis Nabi saw. di atas, jelas nampak bahwa sebab utama bertambahnya keimanan seseorang adalah jika ia berusaha selalu taat kepada Allah. Allah akan mencintai dan merahmati orang-orang yang taat kepada-Nya dan rasul-Nya (QS 3: 31, 32, 132). Semakin besar ketaatan yang diberikan seseorang kepada Allah apakah itu dalam rangka menuruti perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya maka akan semakin meningkatlah kadar keimanannya.
Sebab-sebab yang lainnya yang juga bisa menjaga dan meningkatkan kadar keimanan adalah bila seseorang selalu mengingat Allah dan banyak bersyukur kepada-Nya. Atau bila diberi cobaan berupa musibah tetap sabar dan bersandar pada Allah serta tak pernah berburuk sangka pada-Nya (QS 29: 2) karena cobaan memang secara sunatullah terkait dengan pengujian kadar keimanan.
Ada sebuah siklus positif yang bisa terjadi pada diri seorang mukmin yakni bila ia memiliki keimanan, iman akan mendorongnya taat, menjalankan ibadah kepada Allah sesuai dengan yang dikehendaki-Nya (QS 51: 56). Kemudian ibadah akan menghasilkan ketakwaan dan ketakwaan dengan sendirinya akan meningkatkan keimanan seseorang.
Sedangkan sebab menurun atau berkurang dan bahkan hilangnya keimanan seseorang adalah maksiat yang dilakukannya. Semakin banyak kemaksiatan kepada Allah yang dilakukan seseorang akan semakin menurun kadar keimanannya. Bahkan jika seseorang terjerumus melakukan dosa besar, pada saat ia melakukan maksiat itu dikatakan iman nya habis sama sekali.
Imam Ghazali mengumpamakan hati seseorang seperti lembaran putih bersih. Dosa yang disebabkan maksiat yang dilakukannya akan menyebabkan titik hitam di lembaran putih itu. Semakin banyak dosa kemaksiatan yang dilakukannya, maka lembaran itu akan hitam kelam. Dan hati yang pekat seperti itu tidak lagi sensitif terhadap dosa-dosanya.
Artinya tidak ada perasaan takut atau menyesal pada saat atau sesudah melakukan kemaksiatan. Apabila kemaksiatan yang dilakukan seseorang masih terkatagori as sayyiat atau dosa kecil, maka kebajikan-kebajikan yang kita lakukan insya Allah akan mengkompensasi dosa dosa kecil tersebut. Dalam hadis Nabi SAW dikatakan, “Bertakwalah kepada Allah di manapun kamu berada dan iringilah perbuatan buruk dengan perbuatan baik dan pergaulilah manusia dengan akhlak yang baik. “
Sementara itu di dalam surat Ali Imran ayat 135 disebutkan ciri orang beriman dan bertakwa adalah bila melakukan kekejian atau menzhalimi diri sendiri (dengan berbuat dosa ) mereka cepat-cepat ingat Allah dan mohon ampunan atas dosa-dosanya Allah Taala memang menyuruh kita bersegera bertobat memohon ampunan dan surga-Nya (QS 3: 133).
Hal yang harus dipenuhi dalam tobat adalah adanya unsur menyesali maksiat yang dilakukan, kemudian berhenti dan ketika berjanji sungguh-sungguh tidak akan mengulanginya lagi.

2. Dampak Positif atau Manfaat Kekuatan Iman

a.       Memiliki kekuatan hubungan dengan Allah. ”Al-quwwatu silah billah“ (kekuatan hubungan dengan Allah ) adalah buah keimanan yang paling nyata. Karena seorang mukmin yang memiliki kekuatan hubungan dengan Allah tidak akan pernah berputus asa dari rahmat Allah, ia tidak akan karam dalam keputus-asaan. Karena ia akan selalu berpaling kepada Allah. Ia yakin Allah akan selalu menolong dan tidak pernah mengecewakannya. Cobaan sebesar apapun tak pernah membuatnya berburuk sangka terhadap Allah.
b.       Memiliki ketenangan dan ketenteraman jiwa. Iman yang dimiliki seseorang membuatnya tidak pernah takut pada manusia sepanjang ia tidak melakukan kesalahan. Ia hanya takut kepada Allah saja. Dengan mengingat Allah, hatinya akan senantiasa diliputi ketenteraman dan ketenangan (QS 13:28), sehingga Rasulullah saw. bersabda, “Sungguh menakjubkan urusannya orang beriman, bila diberi karunia ia bersyukur dan itu baik untuknya. Dan bila diberi musibah ia bersabar dan itu lebih baik untuknya.
Iman dalam diri seorang mukmin menjadi stabilisator bagi jiwanya. Karunia yang teramat besar tidak akan pernah membuatnya ujub, takabur atau lupa diri melainkan ia tetap tenang dan mengembalikannya kepada Dzat yang Maha memberi: bahwa itu semua karunia Allah. Dan cobaan sebesar dan seberat apapun juga tidak akan membuatnya hilang akal, terguncang jiwanya dan berburuk sangka atau berpaling dari Allah.
c.       Memiliki kemampuan memikul beban apakah itu beban kehidupan ataupun beban dijalan Allah. Orang yang beriman akan mampu memikul beban kehidupan ataupun beban di jalan Allah tanpa berkeluh kesah. Ia akan berikhtiar semaksimal mungkin dan mengembalikan masalah hasilnya kepada Allah.
Fatimah putri Nabi saw. adalah contoh luar biasa seseorang yang ikhlas dan sanggup memikul beban yang berat. Suatu saat ketika ia bersama bapak dan ibunya serta pengikut –pengikut risalah bapaknya dan juga kaum nya mengalami tahun-tahun sulit masa pemboikotan, ibunda Khadijah sempat dengan sendu berujar kepadanya “Kasihan anakku sekecil ini kau sudah menderita,” jawaban Fatimah benar-benar mencengangkannya, “Ibu …mengapa ibu berkata begitu? cobaan yang lebih berat dari ini pun aku sanggup”
Memiliki ketabahan dan kesabaran dalam menanggulangi musibah. Sesungguhnya setiap mukmin akan dicoba oleh Allah dengan berbagai cobaan keimanan. Dan siapa yang sabar dan mengembalikan segalanya kepada Allah, ia akan diberi kabar gembira berupa, kasih sayang, kesertaan, ampunan dan surganya. Ketabahan dan kesabaran memang tak ada batasnya. Namun balasan dari Allah bagi orang –orang yang sabar pun tak ada batasnya. Tak terhitung dan berlimpah ruah seperti luapan air bah.

3. Tanda-tanda keimanan

Bukti keimanan seseorang yang paling nyata tentu saja adalah amal shaleh yang dilakukannya dan libasut taqwa (pakaian takwa) yang dikenakannya. Yang membedakan seorang muslim dari kufri adalah keimanannya kepada hal yang ghaib. Kemudian juga shalat karena dalam hadis dikatakan:bainal abdi wal kafir tarkus shalat , bainal abdi was syirik tarkus shalat (batas antara seorang hamba Allah dengan yang kafir adalah meninggalkan shalat dan batas seorang hamba Allah dengan kemusyrikan adalah meninggalkan shalat. )
Di dalam QS 49:15 disebutkan orang yang beriman ialah yang tak pernah sedikit pun ragu terhadap yang diimaninya. Kemudian mampu mengatasi ujian-ujian keimanan dari Allah (QS 29:2) ada satu surat di dalam Al Quran yang berjudul Al-Mu’minun (orang-orang beriman )
Surat itu merinci karakterikristik orang -orang yang beriman yakni khusyuk dalam shalat, menjauhi perbuatan dan perkataan yang sia-sia, menunaikan zakat, menjaga kemaluannya, menjaga amanah-amanah dan menepati janji serta menjaga shalat-shalatnya.
Orang yang beriman dengan memenuhi kriteria-kriteria di atas akan mewarisi syurga Firdaus dan kekal di dalamnya selama-lamanya.
Ciri mukmin yang lain ada pada QS 48:29, yang bahkan ciri keimanannya itu tampak pula secara fisik berupa dahi yang hitam /berbekas karena selalu bersujud kepada-Nya.
Dan akhirnya orang yang istiqamah dalam keimanannya akan selalu memiliki sikap at tafa’ul (optimis), as syajaah (berani), dan ith mi’nan (tenang ) dalam kehidupan ini.

4. Terapi atau cara meningkatkan keimanan

Ada beberapa cara yang bisa ditempuh untuk meningkatkan keimanan seseorang di antaranya ialah:
a.       Shalat tepat waktu dan khusyu, juga memperbanyak shalat nawaafil.
b.       Shaum. Selain shaum di bulan Ramadhan juga shaum-shaum sunnah seperti Senin-Kamis, Ayyamul Bidh, Daud, Arafah, dan lain-lain.
c.       Memperbanyak tilawah quran. Dalam QS 8:2 disebutkan ciri orang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah bergetarlah hati mereka dan bila dibacakan ayat-ayat Allah bertambah tambahlah keimanan mereka.
d.       Dzikir dan takafur. Rasulullah saw. terlihat menangis ketika turun surat QS 3: 190-191. Bilal lalu bertanya dan beliau menjawab: celakalah orang yang membaca ayat ini namun tak kunjung menarik pelajaran darinya. Dan kedua ayat tersebut berisikan tentang bertakafur terhadap tanda-tanda kekuasaannya.
e.       Jalasah ruhiah. Acara mabit, menginap, qiamul lail dan sahur bersama untuk kemudian berpuasa dan bila memungkinkan ifthar shaum bersama dengan didahului taujih, ruhiah akan besar efeknya bagi keimanan seseorang. Muadz bin Jabbal dulu acap mengajak sahabat-sahabat yang lain, “ijlis bina‘ nu’minu sa’ah” (duduklah bersama kami, berimanlah sejenak dengan penuh konsentrasi).
f.        Dzikrul maut. Mengingat kematian yang pasti datangnya apakah dengan menjenguk dan mentalkinkan orang yang sakaratul maut atau memandikan, mengkafani dan menguburkan maupun ziarah kubur kesemuanya juga dapat meningkatkan keimanan seseorang.

SUPLEMEN

Akidah secara etimologis berarti yang terikat. Dr Abdullah Azzam mendefinisikan istilah akidah sebagai perjanjian yang teguh dan kuat, terpatri dalam hati dan tertanam di lubuk hati yang paling dalam. Sementara Imam Syahid Hasan Al-Banna menjabarkan akidah sebagai urusan yang wajib diyakini kebenarannya oleh hati menenteramkan jiwa dan menjadi keyakinan yang tidak bercampur dengan keraguan.
Akidah yang diajarkan Rasulullah saw. adalah tauhid dan tujuannya ialah untuk memperkuat ikatan /keyakinan dan hubungan dengan Allah.
Ada dua metode dalam mempelajari akidah atau yang berkaitan dengan masalah keimanan.
1. Metode asasi yakni metode salafi atau salafus shaleh.
2. Metode ghairu asasi yakni metode ilmu kalam.
Metode asasi adalah metode yang digunakan kaum salafus shaleh yakni metode yang digunakan di era Rasulullah, di era sahabat, tabi’in dan tabit tabi’in.
Metode ini adalah suatu cara mengenal Allah melalui Allah seperti ungkapan Abu Bakar Sidik, “Kalau Allah tidak memperkenalkan dirinya kepadaku niscaya aku tidak mengenalnya”.
Metode ini merupakan metode ahlus sunnah wal jama’ah dan metode yang kamil serta syamil.
Sementara metode kedua adalah metode ghairu asasi yang lebih dikenal sebagai metode ilmu kalam yakni menggunakan upaya pendekatan filosofis dan daya nalar dalam masalah keimanan atau akidah.
Metode ilmu kalam terbukti tidak dapat memberi atsar atau pengaruh keimanan bagi orang yang mempelajarinya juga tidak bisa menuntun kepada perilaku atau akhlak yang islami. Dan bukannya membuat kita semakin yakin malah semakin ragu kepada Allah dan Risalahnya.
Tokoh-tokoh ilmu kalam adalah Abul Hasan Al-Asyhari, Imam Ar-Razi dan Imam Al-Juwairi, namun mereka akhirnya insaf dan menyadari bahwa metode paling efektif dalam mempelajari dan menanamkan keimanan adalah metode Al-Qur’an dan Al-Sunnah.
Wallahu a’lam
Sumber :  Ekspresi-ekspresi Penggugah Inspirasi

powered by Blogger | WordPress by Newwpthemes